Kamis, 24 Maret 2011

SYAIKH ALBANI: AHLI HADITS YANG TERDZOLIMI


Dewasa ini kecintaan dan penghormatan terhadap ulama sangat minim sekali, bahkan betapa derasnya hujan celaan, penghinaan, kedustaan dan tuduhan pada mereka, baik karena faktor kejahilan, hawa nafsu, fanatik madzhab, cinta popularitas atau mungkin karena semua faktor tersebut!!.[1]
Seperti halnya para ulama Salaf lainnya, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani tak luput dari serbuan celaan, hinaan dan tuduhan. Beliau sendiri pernah berkata:
“Aku banyak dizhalimi oleh orang-orang yang mengaku berilmu, bahkan sebagian di antara mereka ada yang dianggap bermanhaj Salaf seperti kami. Namun -kalau memang benar demikian- berarti dia termasuk orang yang hatinya terjangkit penyakit hasad dan dengki.”[2]
Semua itu tidaklah aneh, karena memang setiap orang yang mengajak manusia kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai pemahaman para Sahabat, pasti mendapatkan resiko dan tantangan dakwah. Alangkah bagusnya perkataan Waraqah bin Naufal kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمَا جِئْتَ بِهِ إِلاَّ عُوْدِيَ
“Tidak ada seorang pun yang datang dengan mengemban ajaranmu kecuali akan dimusuhi.”[3]
Tetapi percaya atau tidak, semua celaan dan tuduhan dusta tersebut tidaklah membahayakan dan menggoyang kursi kedudukan Syaikh al-Albani t, bahkan sebalik-nya, sangat membahayakan nasib para pencela beliau sendiri.
يَا نَاطِحَ الْجَبَلِ الْعَالِيْ لِيَكْلِمَهُ
أَشْفِقْ عَلَى الرَّأْسِ لاَ تُشْفِقْ عَلَى الْجَبَلِ
Hai orang yang akan menabrak gunung tinggi untuk menghancurkannya
Kasihanilah kepala anda, jangan kasihan pada gunungnya[4].
Oleh karena itu, izinkanlah kami untuk memberikan sedikit komentar tentang beberapa omongan  di atas.
.
1. Al-Albani berpemahaman murji’ah
Tuduhan ini bukanlah suatu hal yang aneh lagi. Terlalu banyak bukti-bukti untuk membantah tuduhan ini, karena Syaikh al-Albani telah menjelaskan secara gamblang aqidah beliau dalam banyak tulisannya yang sangat bersebrangan dengan aqidah murji’ah.
Alangkah bagusnya ucapan beliau tatkala mengatakan: “Demikianlah yang saya tulis semenjak dua puluh tahun silam lamanya dengan membela aqidah salaf Ahli Sunnah wal Jama’ah -segala puji hanya bagi Alloh-. Namun pada hari ini, bermunculan anak-anak kemarin sore yang jahil seraya menuduh kami dengan pemahaman murji’ah!! Hanya kepada Alloh kita mengadu dari jeleknya perilaku mereka berupa kejahilan dan kesesatan!!”. [5]
Tuduhan ini juga telah dibantah oleh para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah yang sezaman dengan beliau. Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya tentang tuduhan murji’ah kepada Syaikh al-Albani, lalu beliau menjawab:
Syaikh Nasiruddin al-Albani termasuk di antara saudara-suadara kami yang terkenal dari ahli hadits dan ahli sunnah wal Jama’ah. Kita memohon kepada Alloh bagi kita dan beliau taufiq untuk segala kebajikan.
Sewajibnya bagi setiap muslim untuk takut kepada Alloh terhadap para ulama dan tidak berbicara kecuali di atas ilmu”.
Demikian juga Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, beliau membantah tuduhan ini dengan kata-kata yang indah:
“Barangsiapa menuduh Syaikh al-Albani dengan pemahaman murjiah maka dia telah keliru, mungkin dia tidak mengenal al-Albani atau tidak mengetahui paham irja’!!
Al-Albani adalah seorang ahli Sunnah, pembelanya, imam dalam hadits, kami tidak mengetahui seorangpun yang menandinginya pada zaman ini[6], tetapi sebagian manusia -semoga Alloh mengampuninya- memiliki kedengkian dalam hatinya, sehingga tatkala melihat seorang yang diterima manusia, dia mencelanya seperti perbuatan orang-orang munafiq:
(orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang Mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya.
(QS. at-Taubah [9]: 79)
Mereka mencela orang yang bersedekah, baik sedekah dalam jumlah yang banyak maupun sedikit.
Al-Albani yang kami kenal melalui kitab-kitabnya dan duduk bersamanya -kadang-kadang- adalah seorang yang beraqidah salaf, manhajnya bagus, tetapi sebagian manusia yang ingin mengkafirkan hamba-hamba Alloh dengan hal yang tidak dikafirkan oleh Alloh, lalu dia menuduh orang yang menyelisihi mereka dalam takfirsebagai orang murji’ah secara dusta dan bohong. Oleh karena itu, janganlah kalian mendengarkan tuduhan ini dari siapapun orangnya”.[7]
إِذَا قَالَتْ حَذَامِ فَصَدِّقُوْهَا           فَإِنَّ الْقَوْلَ مَا قَالَتْ حَذَامِ
Apabila Hadhami berucap maka benarkanlah
Karena kebenaran pada dirinya.
2. Al-Albani tidak mengerti fiqih
Ada lagi ucapan yang terlontar untuk mencela al-Albani, katanya:
Memang al-Albani jago dalam masalah hadits, tetapi masalah fiqih,  beliau miskin!!
Sungguh ini merupakan kejahilan yang amat sangat dan ucapan seperti ini tidak lain kecuali hanya keluar dari mulut orang-orang yang jahil atau dengki[8].
  • Aduhai, wahai para pencela ulama, apakah engkau lebih mengerti tentang fiqih hadits daripada orang yang engkau cela?! Bercerminlah terlebih dahulu dan simaklah bersamaku kisah berikut yang semoga bisa menjadikan pelajaran berharga bagi kita bersama:
  • Al-Khothib al-Baghdadi menceritakan dari Abdulloh bin Hasan al-Hisnajani:
“Saya pernah di Mesir, saya mendengar seorang hakim mengatakan di Masjid Jami’: “Ahli hadits adalah orang-orang miskin yang tidak mengerti fiqih!!”.
Saya -yang saat itu kurang sehat- mendekati hakim tersebut seraya mengatakan: “Para sahabat Nabi berselisih tentang luka pada kaum lelaki dan wanita, lantas apa yang dikatakan Ali bin Thalib, Zaid bin Tsabit  dan Abdulloh bin Mas’ud?”
Hakim tersebut lalu diam seribu bahasa.
Kemudian saya katakan padanya:
“Tadi engkau mengatakan bahwa ahli hadits tidak mengerti fiqih, sedangkan saya saja orang ahli hadits yang rendah menanyakan hal ini kepadamu namun engkau tidak mampu menjawabnya, lantas bagaimana engkau menuding bahwa ahli hadits tidak mengerti, padahal engkau sendiri saja tidak mengerti?!! [9]
Sungguh, barangsiapa membaca kitab-kitab al-Albani dengan adil dan inshof maka dia akan mengetahui kedalaman ilmunya dalam bidang fiqih, bacalah Silsilah Ash-shohihahAhkamul JanaizSifat Sholat NabiTamamul Minnah, kaset ceramah dan soal jawabnya, dan..dan ..dan lain sebagainya!! Bagaimana beliau bukan seorang yang faqih, padahal dia telahberkhidmah pada sunnah nabawiyyah lebih dari lima puluh tahun lamannya!!.
  • Syaikh al-Albani sendiri pernah ditanya tentang omongan ini, beliau hanya menjawab: “Apakah engkau ingin aku berbicara tentang diriku?!” Terkadang beliau juga menjawab: “Jawaban omongan ini adalah apa yang engkau lihat, bukan apa yang engkau dengar”.[10]
  • Ya, jawaban tentang fiqih al-Albani adalah apa yang kita lihat dalam kitab-kitabnya, soal jawabnya, dialognya, dan kaset-kasetnya, bukan apa yang kita dengar dari sebagian kalangan bahwa al-Albani miskin dalam bidang fiqih!!
  • Sungguh, tuduhan ini adalah suatu kedzaliman, bagaimana seorang yang sejakumur dua puluh tahun mondar-mandir maktabah Zhohiriyyah dan terus meneliti kitab-kitab dari berbagai bidang ilmu tanpa henti, setelah itu dikatakan bukan faqih?! Bertaqwalah kepada Alloh wahai pencela ulama!!
.
3. Al-Albani tidak tahu fiqhul waqi’ (realita umat)
  • Tuduhan ini juga banyak terlontar, seringkali kita membaca ucapan sebagian mereka: “Barangkali saja Syaikh al-Albani saat berfatwa tentang Palestina, sedang tidak membawa buku aqidah salaf!!”.[11] Dan kata-kata sejenisnya yang bernada melecehkan!! Tuduhan ini bukan hanya Syaikh al-Albani saja yang kena getahnya, para ulama salaf lainnya juga demikian semisal Syaikh Ibnu BazIbnu Utsaimin dan lain sebagainya[12].
  • Fiqhul Waqi’ dalam artian mengetahui realita yang terjadi pada umat dan makar-makar musuh terhadap Islam adalah suatu kewajiban penting yang harus ditunaikan oleh sekelompok tertentu dari para penuntut ilmu yang cerdas guna mengetahui hukum syar’I mengenainya, seperti halnya ilmu-ilmu lainnya, baik ilmu syar’I, sosial, ekonomi, politik dan sebagainya dari ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi manusia guna menuju kejayaan Islam.[13]
  • Namun, apa hukumnya fiqhul waqi?! Hukumnya adalah fardhu kifayah, bila ada suatu kelompok kaum muslimin telah menunaikannya maka gugur kewajiban tersebut dari lainnya[14]. Oleh karena itu, maka kewajiban bagi kelompok muslim yang menggeluti fiqhul waqi’ untuk bekerjasama bersama para ulama, mereka akan memaparkan permasalahan dengan gambaran yang jelas dan para ulama akan menjelaskan hukumnya berdasarkan al-Qur’an dan hadits, sebab kesempurnaan adalah suatu hal yang sangat jarang dijumpai pada diri seorang, artinya seorang yang menyibukkan dengan ilmu syar’I dan dalam waktu yang bersamaan dia juga menyibukkan dengan ilmu fiqhul waqi‘, ini jarang sekali terkumpul pada seseorang.
  • Dengan demikian, maka tuduhan sebagian kalangan “Si fulan memang alim, tetapi dia tidak mengerti fiqhul waqi’”. Ini adalah suatu pembagian yang menyelisihi syari’at dan waqi’ (realita)[15]. Sebab ungkapan ini seakan-akan mewajibkan kepada para ulama untuk mengilmui juga ilmu sosial, ekonomi, politik, siasat perang, persenjataan dan sebagainya!! Hal ini sulit terbayangkan bisa terkumpul pada seseorang. Oleh karenanya, hendaknya kaum muslimin saling bantu-membantu antara satu dengan yang lainnya.[16]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Banyak tuduhan kepada sebagian ahli ilmu bahwa mereka tidak mengerti waqi’ (realita) dan program-program kaum munafiq dan sekuler. Hal ini bukanlah suatu aib dan celaan. Dahulu saja, Nabi tidak mengetahui keadaan sebagian orang munafiq padahal beliau adalah tuan manusia dan mereka juga bersama Nabi di Madinah bertahun-tahun lamanya. Nah, kalau demikian apakah tidak boleh kalau ulama tidak mengetahui keadaan kaum munafiqin?!!”.[17]
Namun harus kita ingat, kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap fiqhul waqi’, dengan menjadikannya sebagai metode bagi para dai dan pemuda dengan anggapan hal itu adalah jalan keselamatan, sungguh ini adalah kesalahan yang nyata[18]. Apakah kita ingin agar manusia sibuk dengan berita-berita koran, TV, radio, dan internet yang tidak bisa  keabsahannya tidaak otentik dan melupakan kajian al-Qur’an dan hadits yang sangat jelas keontetikannya?! Alangkah bagusnya ucapan seorang:
مُنَايَ مِنَ الدُّنْيَا عُلُوْمٌ أَبُثُّهَا
وَأَنْشُرُهَا فِيْ كُلِّ بَادٍ وَحَاضِرِ
دُعَاءٌ إِلَى الْقُرْآنِ وَ السُّنَنِ الَّتِيْ
تَنَاسَى رِجَالٌ ذِكْرَهَا فِي الْمَحَاضِرِ
وَقَدْ أَبْدَلُوْهَا بِالْجَرَائِدِ تَارَةْ
وَتِلْفَازُهُمْ رَأْسُ الشُّرُوْرِ وَالْمَنَاكِرِ
وَبِالرَّادِيُوْ فَلاَ تَنْسَ شَرَّهُ
فَكَمْ ضَاعَ الْوَقْتُ بِهَا مِنْ خَسَائِرِ
Cita-citaku di dunia adalah menyebarkan ilmu
Ke pelosok desa dan kota
Mengajak menusia kepada al-Qur’an dan Sunnah
Yang kini banyak dilalaikan manusia.[19]
Mereka menggantinya dengan koran
Dan Televisi mereka sumber kerusakan dan kemunkaran
Dan juga Radio, jangan kamu lupakan kejelekannya
Betapa banyak waktu hilang sia-sia karenanya.[20]
Akhirnya, simaklah nasehat Syaikh al-Albani tatkala berkata:
“Adapun menuding sebagian ulama atau penuntut ilmu bahwa mereka tidak mengerti waqi’ dan tuduhan-tuduhan memalukan lainnya, maka ini adalah kesalahan yang amat nyata, tidak boleh diteruskan, karena hal itu termasuk mengolok-ngolok yang dilarang oleh Nabi dalam banyak haditsnya bahkan diperintahkan untuk sebaliknya yaitu saling mencintai antar sesama”.[21]
Simak juga nasehat Syaikh Abdul Aziz bin Baz tatkala berkata:
“Sewajibnya bagi setiap muslim untuk menjaga lidahnya dari ucapan-ucapan yang tidak pantas dan tidak berbicara kecuali di atas ilmu. Menuduh bahwa si fulan tidak mengetahui realita adalah membutuhkan ilmu, dan tidak boleh dikatakan kecuali oleh seorang yang memiliki ilmu. Adapun asal menuduh begitu saja tanpa ilmu maka hal ini merupakan kemungkaran yang besar”.[22]
4. Al-Albani dan Fatwa Palesthina
Fatwa ini sangat bikin heboh. Perhatikan ucapan sebagian mereka: “Sebagian pakar menganggap fatwa al-Albani ini membuktikan bahwa logika yang dipakai al-Albani adalahlogika Yahudi, bukan logika Islam, karena fatwa ini sangat menguntungkan orang-orang yang berambisi menguasai Palesthina. Mereka menilai fatwa al-Albani ini menyalahi sunnah, dan sampai pada tingkatan pikun. Bahkan Dr. Ali al-Fuqayyir, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yordania menilai bahwa fatwa ini keluar dari Syetan“.[23]
Untuk menjawab masalah ini, maka kami akan menjelaskan duduk permasalahan fatwa Syaikh al-Albani tentang masalah Palesthina ini dalam beberapa point berikut[24]:
1. Hijrah dan jihad terus berlanjut hingga hari kiamat tiba.
2. Fatwa tersebut tidak diperuntukkan kepada negeri atau bangsa tertentu.
3. Nabi Muhammad sebagai Nabi yang mulia, beliau hijrah dari kota yang mulia, yaitu Mekkah.
4. Hijrah hukumnya wajib ketika seorang muslim tidak mendapatkan ketetapan dalam tempat tinggalnya yang penuh dengan ujian agama, dia tidak mampu untuk menampakkan hukum-hukum syar’I yang dibebankan Allah kepadanya, bahkan dia khawatir terhadap cobaan yang menimpa dirinya sehingga menjadikannya murtad dari agama.
  • Inilah inti fatwa Syaikh al-Albani yang seringkali disembunyikan!!
  • Imam Nawawi berkata dalam Roudhatut Tholibin 10/282:
“Apabila seorang muslim merasa lemah di Negara kafir, dia tidak mampu untuk menampakkan agama Allah, maka haram baginya untuk tinggal di tempat tersebut dan wajib baginya untuk hijrah ke negeri Islam…”.
5. Apabila seorang muslim menjumpai tempat terdekat dari tempat tinggalnya untuk menjaga dirinya, agamanya dan keluarganya, maka hendaknya dia hijrah ke tempat tersebut tanpa harus ke luar negerinya, karena hal itu lebih mudah baginya untuk kembali ke kampung halaman bila fitnah telah selesai.
6. Hijrah sebagaimana disyari’atkan dari Negara ke Negara lainnya, demikian juga dari kota ke kota lainnya atau desa ke desa lainnya yang masih dalam negeri.
  • Point ini juga banyak dilalaikan oleh para pendengki tersebut, sehingga mereka berkoar di atas mimbar dan menulis di koran-koran bahwa Syaikh al-Albani memerintahkan penduduk Palesthina untuk keluar darinya!!! Demikian, tanpa perincian dan penjelasan!!!
7. Tujuan hijrah adalah untuk mempersiapkan kekuatan untuk melawan musuh-musuh Islam dan mengembalikan hukum Islam seperti sebelumnya.
8. Semua ini apabila ada kemampuan. Apabila seorang muslim tidak mendapati tanah untuk menjaga diri dan agamanya kecuali tanah tempat tinggalnya tersebut, atau ada halangan-halangan yang menyebabkan dia tidak bisa hijrah, atau dia menimbang bahwa tempat yang akan dia hijrah ke sana sama saja, atau dia yakin bahwa keberadaannya di tempatnya lebih aman untuk agama, diri dan keluarganya, atau tidak ada tempat hijrah kecuali ke negeri kafir juga, atau keberadaannya untuk tetap di tempat tinggalnya lebih membawa maslahat yang lebih besar, baik maslahat untuk umat atau untuk mendakwahi musuh dan dia tidak khawatir terhadap agama dan dirinya, maka dalam keadaan seperti ini hendaknya dia tetap tinggal di tempat tinggalnya, semoga dia mendapatkan pahala hijrah. Imam Nawawi berkata dalamRoudhah 10/282: “Apabila dia tidak mampu untuk hijrah, maka dia diberi udzur sampai dia mampu“.
  • Demikian juga dalam kasus Palesthina secara khusus, Syaikh al-Albani mengatakan: “Apakah di Palesthina ada sebuah desa atau kota yang bisa dijadikan tempat untuk tinggal dan menjaga agama dan aman dari fitnah mereka?! Kalau memang ada, maka hendaknya mereka hijrah ke sana dan tidak keluar dari Palesthina, karena hijrah dalam negeri adalah mampu dan memenuhi tujuan”.
  • Demikianlah perincian Syaikh al-Albani, lantas apakah setelah itu kemudian dikatakan bahwa beliau berfatwa untuk mengosongkan tanah Palesthina atau untuk menguntungkan Yahudi?!! Diamlah wahai para pencela dan pendeki, sesungguhnya kami berlindung kepada Allah dari kejahilan dan kezhaliman kalian!!.
9. Hendaknya seorang muslim meyakini bahwa menjaga agama dan aqidah lebih utama daripada menjaga jiwa dan tanah.
10. Anggaplah Syaikh al-Albani keliru dalam fatwa ini, apakah kemudian harus dicaci maki dan divonis dengan sembrangan kata?!! Bukankah beliau telah berijtihad dengan ilmu, hujjah dan kaidah?!! Bukankah seorang ulama apabila berijtihad, dia dapat dua pahala dan satu pahala bila dia salah?! Lantas, seperti inikah balasan yang beliau terima?!!
11. Syaikh Zuhair Syawisy mengatakan dalam tulisannya yang dimuat dalam Majalah Al Furqon, edisi 115, hlm. 19 bahwa Syaikh al-Albani telah bersiap-siap untuk melawan Yahudi, hampir saja beliau sampai ke Palesthina, tetapi ada larangan pemerintah untuk para mujahidin”.
Syaikh al-Albani sampai ke Palesthina pada tahun 1948 dan beliau sholat di masjidil Aqsho dan kembali sebagai pembimbing pasukan Saudi yang tersesat di jalan. Lihat kisah selengkapnya dalam bukunya berjudul “Rihlatii Ila Nejed”. (perjalananku ke Nejed).
Kami kira, keterangan singkat di atas cukup untuk membungkat mulut-mulut durhaka dan tulisan-tulisan hina yang menuding dengan sembrangan kata[25]!! Wallahu A’lam.
.
Catatan Kaki:

[1] Lihat Silsilah ash-Shohihah (I/4 dan II/17) oleh al-Albani.
[2] Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah 1/29
[3] HR. Al-Bukhori (no. 7) dan Muslim (no. 160).
[4] Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi Ibnu Abdil Barr 2/310
[5] Adz-Dzabbul Ahmad ‘an Musnad Imam Ahmad hal. 32-33
[6] Apakah setelah pujian ini, kita percaya kepada ucapan para penyusun buku “Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU…” hlm. 241 bahwa Syaikh al-Utsaimin menilai al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali!! Hanya kepada Alloh kita mengadu dari kebutaan dan kejahilan!!!
[7] Lihat At-Ta’rif wa Tanbi’ah bi Ta’shilatil Imam al-Albani fi Masailil IMan war Radd ‘alal Murjiah hlm. A43-144, Ar-Raddul Burhani, Ali Hasan al-Halabi hal. 72-74 dan Al-Imam Al-Bani wa Mauqifuhu Minal Irja’, Abdul Aziz ar-Rayyis hal. 40-43
[8] Lihat Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal Ibnul Jauzi hal. 67)
[9] Syaraf Ashabil Hadits hal. 142
[10] Hayah al-Albani 2/502
[11] Sebagaimana dikatakan oleh penulis artikel “Mengapa Salafi Dimusuhi Umat” dalam Majalah Risalah Mujahidin edisi no. 1/Th. 1, Ramadhan 1427 H/September 2006 M, hlm. 2. Artikel ini telah dibantah oleh Ustadzunal Karim Aunur Rofiq bin Ghufron dalam Majalah al-Furqon edisi 5/Th. VI.
[12] Saya yakin bahwa para ulama yang dituding tidak mengerti waqi’ semisal Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, al-Albani dan sebagainya, justru mereka lebih mengerti tentang fiqhul waqi’ daripada para pelontar tuduhan yang ngawur itu!! Barangsiapa membaca siroh perjalanan hidup mereka, maka akan membenarkan ucapan saya.
[13] Lihat Sual wa Jawab Haula Fiqhil Waqi’, al-Albani hlm. 34-35.
[14] Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Rabi bin Hadi al-Madkholi: “Apabila sebagian kelompok mengaku bahwa mereka mengetahui fiqhul waqi’, lantas mengapa mereka mencela kaum salafiyyin dan mensifati mereka tidak mengerti waqi?! Bukankah kewajiban salafiyyin telah gugur karena adanya sebagian kaum muslimin yang menunaikannya?! (Ahlul Hadits Humut Thoifah al-Manshurah hlm. 92).
[15] Pembagian ulama waqi’ dan ulama syari’at mengingatkan kita kepada pembagian kaum Sufi: Ulama syari’at dan ulama hakekat untuk memisahkan manusia dari para ulama robbaniyyun. Ini adalah salah satu dari sekian banyak dampak negatif dari salaf faham tentang fiqhul waqi. Lihat secara panjang lebar dalam buku Fiqhul Waqi’ Baina Nadhoriyyah wa Tahtbiq hlm. 44-60 karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi.
[16] Idem hlm. 39-41
[17] Wujub Tho’athis Shulthon fi Tho’atir Rohman -secara ringkas-, Muhammad al-’Uraini hlm. 44-45, dari Madarikun Nadhor, Abdul Malik Romadhoni hlm. 199-200
[18] Idem. hlm. 48 dan 57.
[19] Siyar A’lam Nubala 18/206. Adz-Dzahabi berkomentar: “Syairnya Ibnu Hazm ini sangat indah sekali sebagaimana engkau lihat sendiri”.
[20] Mawarid azh-Zhom’an 3/4, Syaikh Abdul Aziz as-Salman.
[21] Sual wa Jawab Haula Fiqhil Waqi’, al-Albani hlm. 59-60.
[22] Majalah Robithah Alam Islami, edisi 313, dinukil dari Qowa’id fi Ta’amul Ma’a Ulama,Abdur Rahman Mu’alla al-Luwaihiq hal. 108.
[23] Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU.. hlm. 244.
Faedah: Para penulis buku “Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU…” dalam hujatan mereka terhadap al-Albani banyak berpedoman kepada buku “Fatawa Syaikh al-Albani wa Muqoronatuha bi Fatawa Ulama” karya Ukasyah Abdul Mannan, padahal buku ini telah diingkari sendiri oleh Syaikh al-Albani secara keras, sebagaimana diceritakan oleh murid-murid beliau seperti Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi dan Syaikh Salim al-Hilali. (LihatFatawa Ulama Akabir Abdul Malik al-Jazairi hlm. 106 dan Shofahat Baidho’ Min Hayati Imamil Al-Albani Syaikh Abu Asma’ hlm. 88). Dengan demikian, jatuhlah nilai hujatan mereka terhadap al-Albani dari akarnya. Alhamdulillah.
[24] Lihat As-Salafiyyun wa Qodhiyyatu Falestina hal. 14-37. Lihat pula Silsilah Ahadits ash-Shohihah no. 2857, Madha Yanqimuna Minas Syaikh, Muhammad Ibrahim Syaqroh hlm. 21-24, al-Fashlul Mubin fi Masalatil Hijrah wa Mufaroqotil Musyirikin, Husain al-Awaisyah, Majalah Al-Asholah edisi 7/Th. II, Rabiu Tsani 1414 H.
.
[25] Syaikh al-Albani mengatakan: “Sesungguhnya apa yang ditulis oleh saudara yang mulia Muhammad bin Ibrahim Syaqroh dalam risalah ini berupa fatwa dan ucapanku adalah kesimpulan apa yang saya yakini dalam masalah ini. Barangsiapa yang menukil dariku selain kesimpulan ini, maka dia telah keliru atau pengikut hawa nafsu”.

Rabu, 23 Maret 2011

EKSISTENSI SYAREAT DAN HAKEKAT DALAM SUFI


Oleh : DR. Ali Musri Semjan Putra, MA

Eksistensi hakikat menurut orang-orang sufi adalah takwil-takwil yang mereka reka-reka dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian mereka simpulkan bahwa takwil-takwil tersebut hanya bisa diketahui oleh orang-orang khusus atau mereka sebut ulama khosh (khusus) di atas tingkatan ini ada lagi tingkat yang lebih tinggi yaitu ulama khoshul-khosh (amat leb­ih khusus) atau mereka sebut ulama hakikat.

Adapun syariat menurut mereka adalah lafazh-la­fazh dan makna yang zhohir (tersurat) dari nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal inilah yang dipahami oleh orang-orang awam (biasa), maka mereka me­nyebut ulama yang berpegang dengan pemahaman ini dalam menghayati ayat al-Qur’an dan hadits-ha­dits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nama “ulama ‘am (umum)” atau “ulama syariat”. Dari sini mereka membagi ulama menjadi dua bagian: ulama hakikat dan ulama syari­at, atau ulama batin dan ulama zhohir.

Menurut mereka ulama hakikat atau ulama batin lebih tinggi kedudukannya daripada ulama syariat atau ulama zhohir. Karena menurut pengakuan me­reka ulama hakikat dapat menyelami rahasia-rahasia ghoib yang tersembunyi dalam nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Untuk mengetahui rahasia-rahasia tersebut mereka memiliki rute-rute yang mesti dile­wati. Di samping itu, mereka memiliki trik-trik dalam memengaruhi orang-orang di luar mereka dengan berbagai cerita-cerita bohong.

Di antara bentuk-bentuk rute-rute sesat mereka adalah puasa selama empat puluh hari berturut-turut, bersemedi dalam sebuah gua, tidak boleh memakan hewan yang disembelih atau binatang yang berdarah, atau dilarang memakan makanan yang dibakar de­ngan api.

Adakalanya mereka dalam melegalkan takwil-takwil sesat (ilmu hakikat) mereka dengan mengaku bermimpi bertemu salah seorang nabi, seperti Nabi Khidhir ‘alaihis salam atau Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau mereka bermimpi bertemu dengan salah seorang seperti Abdul Qodir al-Jailani atau yang lainnya.

Dan adakalanya mereka mengaku dalam mendapat­kan takwil-takwil (ilmu hakikat) tersebut dengan melalui berdzikir hingga tidak sadarkan diri. Karena di antara kebiasaan mereka adalah melantunkan sela­watan dan syair-syair zuhud dengan berdendang dan bergoyang sampai larut malam.[1]

Di samping itu, mereka menghina dan mencela orang-orang yang menuntut ilmu dengan cara bela­jar kepada para ulama dan mereka sebut ini “ilmu syariat”. Mereka katakan bahwa ilmu mereka (ilmu hakikat) lebih utama daripada ilmu syariat yang di­pelajari melalui para ulama. Karena ilmu mereka (ilmu hakikat) mereka dapatkan langsung dari Alloh Ta’ala. Bahkan ilmu mereka lebih tinggi daripada ilmu Nabi ‘alaihis salam karena Nabi ‘alaihis salam mendapat ilmu melalui perantara yaitu Malaikat Jibril ‘alaihis salam adapun ilmu mereka langsung mereka dapatkan dari sumber di mana Ji­bril ‘alihis salam mendapatkannya (langsung dari Alloh ‘Azza wa jalla tanpa me­lalui Malaikat Jibril ‘alaihis salam). Maka ilmu mereka tidak melalui perantara melainkan langsung dari Alloh Ta’ala. Sehingga mereka mengatakan: “Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku.” Kadangkala mereka menye­but ilmu mereka (ilmu hakikat) dengan istilah ilmu laduni.

Menurut mereka, ilmu hakikat atau ilmu batin dan ilmu laduni lebih utama daripada ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah. Orang yang telah memiliki ilmu tersebut tidak butuh lagi kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka merasa lebih percaya diri dengan ilmu laduni. Dengan cara-cara demikian mereka dapat mengela­bui orang-orang awam dan orang yang tidak memi­liki pengetahuan agama yang cukup dalam aqidah.

Bila kita teliti kandungan al-Qur’an dan hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajmain juga ulama-ulama terkemuka di kalangan umat ini tidak ada yang menyatakan bila kita berselisih dalam hal agama ini kembali kepada ilmu laduni. Akan tetapi, seluruh umat Islam bersepakat bahwa jalan keluar dari segala perselisihan adalah kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana perintah Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya.

Firman AllAh Ta’ala:
".. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang se­suatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. an-Nisa’ [4]: 59)

Sabda RAsulullAoh shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيِّنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ


“Maka sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian akan melihat perpecahbelahan yang banyak. Maka berpegangteguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrosyidin. Genggamlah erat-erat dan gigitlah dengan geraham.” (HR. at-Tirmidzi dan beliau men­shohihkannya)

Kesesatan keyakinan orang-orang sufi tentang ilmu hakikat tidak hanya ditentang oleh para ulama Ahlus ­Sunnah melainkan juga mendapat celaan dan cercaan dari tokoh-tokoh sufi sendiri sebagaimana yang di­nukil oleh Ibnul-Jauzi rahimahullah beliau berkata: “Sesung­guhnya kebanyakan orang-orang sufi membedakan antara syariat dan hakikat, ini sebuah kebodohan dari orang yang mengatakannya. Karena sesungguhnya syariat seluruhnya adalah hakikat. Jika yang mereka maksud dengan demikian itu adalah rukhshoh (kemu­dahan) dan ‘azimah (ketegasan), maka masing-masing keduanya adalah syariat. sesungguhnya sekelompok dari golongan terkemuka dari mereka telah menging­kari dalam hal berpalingnya mereka dari ilmu zhohir dalam syariat.”

CELAAN TOKOH-TOKOH SUFI TERHADAP ILMU HAKIKAT
Diriwayatkan dari Abu Hasan bin Salim, ia ber­kata: “seseorang datang kepada Sahal bin Abdulloh dengan membawa pena dan buku, ia berkata kepa­da Sahal: ‘Aku datang untuk mencatat sesuatu yang Alloh bisa memberi manfaat kepadaku dengannya.’ Jawab Sahal: ‘Tulislah! Jika engkau mampu menemui Alloh Ta’ala dalam keadaan membawa pena dan buku maka lakukanlah!’ Lalu orang tersebut berkata: ‘Berilah aku suatu faedah (tentang ilmu).’ Jawab Sahal: ‘Dunia selu­ruhnya adalah kebodohan kecuali yang berupa ilmu. Dan ilmu seluruhnya adalah hujjah (yang harus di­pertanggungjawabkan) kecuali yang berbentuk amal. Dan amal seluruhnya akan ditunda penerimaannya kecuali yang sesuai menurut al-Qur’an dan as-Sun­nah. Dan sunnah ditegakkan di atas ketakwaan.’”

Diriwayatkan pula dari Sahal bin Abdulloh: “Jagalah hitam di atas putih, tidak seorang pun meninggalkan yang zhohir (jelas) melainkan ia menjadi zindik.”

Diriwayatkan juga dari Sahal bin Abdulloh, ia berkata: “Tiada jalan yang lebih utama untuk menuju Alloh Ta’ala daripada jalan ilmu. Jika engkau berpaling dari jalan ilmu satu langkah niscaya engkau akan tersesat dalam kegelapan selama empat puluh pagi.”

Dalam ungkapan di atas Sahal menegaskan bahwa ilmu dan amal yang akan diterima Alloh Ta’ala hanyalah yang sesuai dengan apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-sunnah.

Berkata Abu Bakar ad-Daqoq: “Aku mendengar Abu Sa’id al-Khoroz berkata: ‘Setiap ilmu batin yang bertentangan dengan ilmu zhohir maka itu adalah kebatilan.”’

Berkata Abu Bakar ad-Daqoq: “Saat aku melewati Padang Tih Bani Israil, terbetik dalam pikiranku bah­wa ilmu hakikat bertentangan dengan ilmu syariat. Lalu aku mendengar suara dari arah bawah pohon: ‘Setiap ilmu hakikat yang tidak sesuai dengan ilmu syariat maka itu adalah kekafiran.”’

Berkata Ibnul-Jauzi rahimahullah “Imam al-Ghozali telah memperingatkan dalam kitab al-Ihya’, ia berkata: ‘sesungguhnya ilmu hakikat yang menentang ilmu syariat atau ilmu batin yang menentang ilmu zhohir maka ia lebih dekat kepada kekafiran daripada ke­pada keimanan.”‘

Berkata Ibnu ‘Uqoil: “Orang-orang sufi menjadi­kan syariat sebatas nama semata, mereka mengatakan yang dimaksud darinya adalah hakikat. Ini adalah pendapat yang keji. Karena syariat adalah datang dari Alloh Ta’ala untuk kebaikan dan jalan penghambaan para makhluk. Maka tidak ada di balik hakikat kecuali sesuatu yang dibisikkan oleh setan ke dalam jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat ilmu hakikat di luar ketentuan ilmu syariat maka itu adalah tipuan (setan).”[2]

Orang-orang zindik telah menjadikan ilmu hakikat tersebut sebagai tameng untuk menolak hukum-­hukum syariat dan sebagai topeng untuk menutup kekufuran mereka.

Berkata Ibnul-Jauzi rahimahullah: “Orang-orang zindik tidak berani melangkah untuk menolak hukum-hukum syariat sampai datang orang-orang sufi, mereka datang dengan bantuan para pelaku maksiat. Perta­ma kali mereka membuat istilah hakikat dan syariat, ini adalah tindakan yang keji. Karena syariat adalah datang dari Alloh Ta’ala untuk kebaikan para makhluk. Maka tidak ada di balik hakikat kecuali sesuatu yang dibisikkan setan ke dalam jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat ilmu hakikat di luar ketentuan ilmu syariat maka itu adalah tipuan (setan). Jika mereka mendengar seseorang meriwayat­kan hadits, mereka katakan: ‘Kasihan sangat bodoh, mengapa mereka mau mengambil ilmu melalui yang mati dari yang mati! Sedangkan kita mengambil ilmu langsung dari Zat yang tidak pernah mati.’ Barang siapa yang berkata: Telah menceritakan kepadaku bapakku dari kakekku. Justru aku berkata: ‘Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku.”‘ Kata Ibnul-Jauzi rahimahullah: “Mereka (orang-orang sufi) telah binasa dan telah membinasakan orang lain dengan khuro­fat-khurofat ini. Orang-orang bodoh tertipu sehingga mengorbankan harta demi mereka.”[3]

Dengan mengaku mendapat ilmu hakikat mereka bisa mengelabui dan berkilah untuk meninggalkan perintah-perintah agama.

Berkata Ibnul-Jauzi rahimahullah: “Ketahuilah bahwasanya melaksanakan tugas-tugas agama amat berat, tiada yang lebih mudah bagi para pelaku maksiat dari­pada meninggalkan jamaah. Tidak ada yang lebih berat bagi mereka dari perintah dan larangan-larang­an agama. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama dari orang-orang ahlul-kalam dan orang­-orang sufi. Mereka merusak keyakinan manusia de­ngan mempermainkan kelicikan akal. Dan mereka ini merusak amal dan meruntuhkan sendi-sendi agama. Mereka suka menganggur dan mendengarkan nyany­ian. Para generasi salaf tidak demikian halnya dalam hal keyakinan; mereka hamba yang percaya sepenuh­nya dan dalam hal amal mereka orang yang paling sungguh melakukan amal. Berkata Ibnul-Jauzi: “Na­sihatku kepada para saudaraku jangan sampai hati mereka dicekoki perkataan para ahlul-kalam dan jangan sampai pendengaran mereka diserahkan ke­pada khurofat-khurofat sufi. Lebih baik mereka sibuk mencari kebutuhan hidup daripada duduk-duduk bersama orang-orang sufi. Mencukupkan diri dengan ilmu zhohir (ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah) jauh lebih baik daripada terjerumus ke dalam kesesatan. Sungguh telah aku kabarkan tentang jalan kedua kelompok tersebut (ahlul-kalam dan sufi). Kesudahan orang-orang ahlul-kalam adalah kebingungan dan kesudahan orang-orang sufi adalah kebodohan.”

Berkata Ibnu ‘Uqoil: “Kesudahan perkataan orang-orang sufi mengingkari kenabian. Bila mereka berbicara tentang ahli hadits, mereka katakan: ‘Me­reka mengambil ilmu orang mati dari yang mati, maka (berarti) mereka telah menolak kenabian. Me­reka merasa cukup dengan ilmu mereka, bila mereka menghina jalan (ahli hadits) tentu mereka tidak akan simpati mengambil ilmu melalui jalan tersebut. Ba­rang siapa yang berkata ‘Telah menceritakan kepada­ku hatiku dari Tuhanku’ maka ia telah berterus terang (menyatakan) tidak butuh kepada Rosul. Barang siapa yang menyatakan demikian maka sungguhnya ia telah kafir. Kalimat ini telah disusupkan ke dalam agama yang tersembunyi di bawahnya sebuah ke­zindikan (kemunafikan). Jika kita melihat seseorang mencela al-Qur’an dan Hadits, sebaiknya kita tahu bahwa ia telah mengingkari perintah syariat. orang yang mengatakan ‘Telah menceritakan kepadaku ha­tiku dari Tuhanku’ semestinya ia sangsi bahwa itu adalah bisikan setan. Sesungguhnya Alloh telah ber­firman:

"…. Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya…." (QS. al-An’am [61: 121)

Dan ini amat jelas, karena ia meninggalkan dalil yang ma'shum dan memilih apa yang terbetik dalam hat­inya yang tidak bisa dipastikan selamat dari bisikan­-bisikan setan.”[4]

Di antara orang-orang sufi ada yang berkilah bah­wa itu adalah ilham, namun bagaimana menjawabnya jika ditanya “Di mana anda bisa memastikan bahwa itu adalah ilham? Dengan apa anda bisa membeda­kan antara ilham dengan apa yang dibisikan setan?” Maka satu-satunya alat ukur yang jitu untuk membe­dakan antara ilham dengan bisikan setan adalah ilmu syariat. Berarti ilmu hakikat butuh kepada ilmu syar­iat, sebaliknya ilmu syariat tidak butuh kepada ilmu hakikat. orang-orang yang mau menerima petunjuk akan berkesimpulan bahwa ilmu syariat lebih mulia dari ilmu hakikat orang-orang sufi.

Berkata Ibnul-Jauzi: “Mempercayai ilham tidak harus mengingkari ilmu (syariat). Kita tidak mengingkari bahwa Alloh memberikan ilham kepada seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ فِي الْأُمَمِ مُحَدَّثِيْنَ وَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي فَعُمَرُ

“Sesungguhnya pada umat yang lalu ada orang-­orang yang diberi ilham, jika terdapat di antara umatku maka ia adalah Umar.” (HR. Ahmad, dan berkata Syu’aib al-Amauth: “Shohih.”)

Yang dimaksud dengan kata adalah ilham tentang kebaikan. Akan tetapi, seseorang yang mendapat ilham bila diberi ilham yang bertentangan dengan ilmu (syariat), maka ia tidak boleh mengamalkan­nya. Adapun Khidhir, maka ia adalah nabi, tidak di­ragukan para nabi dapat mengetahui akibat-akibat sesuatu melalui wahyu. Ilham tidak termasuk ilmu sedikit pun. Hanya saja, ia adalah buah dari ilmu dan ketakwaan, maka orang tersebut diberi taufik untuk hal yang baik dan ilham petunjuk. Adapun sikap me­ninggalkan ilmu dan bergantung kepada ilham dan bisikan hati semata, maka hal ini tidak bernilai apa­-apa. Jika bukan karena ilmu syariat maka, kita tidak akan bisa mengetahui apa yang terdapat dalam hati, apakah ia ilham ataukah bisikan-bisikan setan. Ke­tahuilah, sesungguhnya ilham yang terdapat dalam hati tidak cukup tanpa ilmu syariat, sebagaimana ilmu akal tidak cukup tanpa ilmu syariat. Adapun ungkapan ‘Mereka mengambil ilmu dari orang mati meriwayatkan dari orang yang mati, maka penilaian terbaik untuk orang yang mengatakannya adalah ia tidak tahu tentang apa yang tersimpan dalam kata­kata ini. Sebenarnya ini adalah cacian terhadap syar­iat (agama).”

Kemudian Ibnul-Jauzi menyebutkan ungkapan al­ Ghozali tentang sebab-sebab orang sufi suka berse­madi dan meninggalkan ilmu serta lebih menguta­makan berdzikir daripada membaca al-Qur’an, lalu ungkapan ini beliau komentari dengan perkataan berikut: “Amat disayangkan, kata-kata seperti ini muncul dari seorang faqih, tidak diragukan lagi tentang kekejian ungkapan ini. Hakikat dari ungkapan ini adalah membuang perintah-perintah agama yang memerintahkan membaca al-Qur’an dan mencari ilmu. Aku mendapati para ulama terkemuka dari berbagai kota tidak pernah menempuh cara ini. Akan tetapi, mereka menyibukkan diri pertama kali de­ngan mencari ilmu.”[5]

ILMU BATIN
Sering pula kita dengar orang-orang sufi menyebut ilmu hakikat dengan istilah “ilmu batin”. Berikut kita coba menelusuri dasar pegangan mereka dalam hal ini. Sebagian mereka menyandarkan perkataan mereka kepada hadits maudhu’ (palsu):

Hadits pertama:

عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ سِرِّ اللهِ  وَحُكْمٌ مِنْ حُكْمِ اللهِ يَقْذِفُهُ اللهُ  فِي قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ أَوْلِيَائِهِ

“Ilmu batin adalah rahasia dari rahasia-rahasia Allah dan hikmah dari hikmah-hikmah Allah. Allah menjatuhkannya ke dalam hati siapa yang Dia kehendaki dari para wali­Nya.”

قَالَ ابْنُ الْجَوْزِي هَذَا حَدِيْثٌ لَا يَصِحُّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ  وَعَامَّةُ رُوَاتِهِ لَا يُعْرَفُوْنَ

Berkata Ibnul-Jauzi: “Hadits ini tidak shohih dari Rasu­lullah dan kebanyakan para perawinya tidak dikenal.”

Hadits kedua:

عَنِ الْحَسَنِ عَنْ حُذَيْفَةَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ  عَنْ عِلْمِ الْبَاطِنِ مَا هُوَ فَقَالَ: سَأَلْتُ جِبْرِيْلَ عَنْهُ فَقَالَ عَنِ اللهِ هُوَ سِرٌّ بَيْنِي وَبَيْنَ أَحِبَّائِي وَأَوْلِيَائِي وَأَصْفِيَائِي أُوَدِّعُهُ فِي قُلُوْبِهِمْ لَا يَطَّلِعُ عَلَيْهِ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ


Al-Hasan meriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata: “Aku bertanya kepada Nabi tentang apa itu ilmu batin?” Beliau berkata: “Aku bertanya kepada Jibril tentangnya. Maka ia menjawab dari Alloh: ‘la adalah rahasia antara-Ku dan para kekasih-Ku, para wali-Ku, dari para orang pili­han-Ku. Aku letakkan dalam hati mereka, tidak diketahui oleh malaikat yang dekat (dengan Alloh) dan tidak pula nabi yang diutus.”

قَالَ عَلِيُّ الْقَارِي قَالَ الْعَسْقَلَانِي مَوْضُوْعٌ وَالْحَسَنُ مَا لَقِيَ حُذَيْفَةَ

Berkata Ali al-Qori: “Berkata lbnu Hajar al-Asqolani: ‘(Hadits ini adalah) maudhu’ (palsu) dan al-Hasan tidak pernah berjumpa Hudzaifah.’”

Berkata Imam al-Barbahari: “Ilmu yang oleh orang-orang disebut ilmu batin tidak pernah ditemui dalam al-Qur’an dan tidak pula dalam as-Sunnah. Maka ia adalah bid’ah dan sesat. Tidak diperboleh­kan bagi seseorang untuk mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya.”[6]

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Sesungguhnya haki­kat ilmu batin yang mereka banggakan adalah peno­lakan terhadap risalah yang Alloh turunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan penolakan terhadap seluruh rosul. Mereka tidak mempercayai apa yang dibawa oleh Rosul dari Alloh Ta’ala, baik berbentuk berita maupun perintah.”[7]

Berkata lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Para tokoh sufi sepakat bahwa orang yang mengaku mengetahui ilmu batin dari hakikat yang bertentangan dengan ilmu zhohir dari syariat maka ia adalah zindik.”[8]

Menurut mereka ilmu batin dan ilmu zhohir pe­rumpamaannya bagaikan lempengan emas dan lem­pengan perak. Ilmu batin adalah lempengan emas sedangkan ilmu zhohir adalah lempengan perak. Me­reka mengatakan bahwa ilmu yang diterima Rosul dengan melalui perantara Malaikat Jibril adalah lempengan perak. sedangkan ilmu batin mereka langsung terima dari Alloh adalah lempengan emas.

Berkata Syaikhul  Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Se­sungguhnya Nabi menurut mereka dari lempeng perak. Karena menurut mereka ada dua lempengan; satu dari emas dan satu lagi dari perak. Mereka me­nganggap lempengan nabi Muhammad adalah ilmu zhohir. Dan lempengannya adalah emas yaitu ilmu batin. Dan lempeng perak adalah ilmu zho­hir. Mereka mendapatkannya tanpa ada perantara. Berkata Ibnu Arabi dalam kitab Fusus-nya: ‘Bahwa tingkat kewalian lebih tinggi dari tingkat kenabian. Karena wali mengambil tanpa ada perantara sedan­gkan nabi melalui perantara (Malaikat Jibril).’ Maka ia menganggap lebih memiliki keutamaan di atas nabi, bahkan ia tidak suka jika memiliki kedudukan yang sama. Ringkasnya ia tidak mau mengikuti nabi sedikit pun. Karena ia menurut pengakuannya men­gambil langsung dari Alloh … maka ia mengaku lebih sempurna dari Rosul.[9]

Barang siapa yang menganggap bahwa di antara para wali yang telah sampai kepada mereka risalah Nabi Muhammad memiliki jalan tersendiri kepada Alloh dan ia tidak butuh kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang ini adalah kafir. Apabila ia berkata: “Saya butuh kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dalam hal ilmu zhohir saja tidak dalam ilmu batin, atau dalam hal ilmu syariat saja tidak dalam ilmu hakikat” maka ia lebih jelek daripada Yahudi dan Nasrani. Karena mereka (Yahudi dan Nasrani) men­gatakan Nabi Muhammad hanya diutus kepada orang Arab saja tidak kepada orang-orang Ahli kitab. Sesungguhnya mereka beriman dengan sebagian dan kafir dengan bagian yang lain, maka mereka menjadi kafir karena hal itu. Demikian pula orang yang men­gatakan bahwa Nabi Muhammad hanya diutus membawa ilmu zhohir saja tidak diutus dengan ilmu batin. la beriman dengan sebagian yang dibawanya dan kafir dengan bagian yang lain, maka ia menjadi kafir (dengan hal itu).[10]

Bila ada orang yang menganggap bahwa Nabi Mu­hammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengetahui urusan-urusan yang zhohir saja tanpa mengetahui hakikat keimanan. Dan ia mengaku mengambil ilmu hakikat di luar al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka sesungguhnya orang tersebut telah mengaku beriman dengan sebagian yang dibawa Rosul dan tidak beriman dengan bagian yang lain. Ini lebih jelek daripada orang yang berkata: Aku beriman dengan dengan sebagian dan aku kafir dengan bagian yang lain.’ Karena ia meni­lai bagian yang ia beriman dengannya adalah bagian yang rendah kualitasnya (menurut dia).”[11]

Mengapa ia lebih kafir dari Yahudi dan Nasrani? Karena ia menganggap bagian yang ia beriman de­ngannya (ilmu syariat) yang dibawa Rosul nilain­ya minus dibanding ilmu batin yang mereka miliki sendiri tanpa harus melalui Rosul; dan Malaikat Jibril. Dengan mengaku mengetahui ilmu ba­tin sebagian sufi mengaku memiliki syariat sendiri, bahkan yang lebih sesat lagi terbebas dari segala perintah dan larangan agama. Apa yang dikatakan atau dilakukan oleh sang kiai mereka yang mengaku mengetahui ilmu batin tidak boleh dibantah, bah­kan sekadar ditanya sekalipun. Bila sang kiai minum khomer (minuman keras) maka dengan ilmu batin ia dapat berubah menjadi air putih. Bahkan ada yang lebih fatal dari itu semua, yang kita malu untuk men­gungkapkannya di sini.

ILMU LADUNI
Kadangkala mereka sebut ilmu mereka (ilmu haki­kat) dengan istilah ilmu laduni.

Banyak orang (sebagian kaum muslimin) terutama mereka yang dari faham2 tasawuf/sufi, mengambil dalil dari cerita tentang Nabi Musa 'alaihis salam belajar kepada Nabi Khidir 'alaihis salam ini sebagai dalil  tentang ada nya ilmu Laduni. Namun benarkah demikian?

Berkata Ibnul-Qoyyim rahimahullah: “Yang dimaksud oleh mereka dengan ilmu laduni ialah ilmu yang diperoleh seseorang dengan tidak melalui sebab (belajar) me­lainkan dengan melalui ilham dari Alloh Ta’ala. Berupa pemberitahuan dari Alloh Ta’ala bagi seseorang sebagai­mana Nabi Khidhir tanpa melalui Nabi Musa Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:

"… yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami". (QS. al-Kahfi [18]: 65)

Maka Alloh “azza wa jalla membedakan antara rahmat dan ilmu, Alloh menjadikan keduanya dari sisi-Nya. Ketika ia peroleh keduanya tanpa melalui perantara manusia. Akan tetapi, khusus dan lebih dekat dari sisi-Nya. Karena itu Alloh berfirman:

Dan katakanlah: ‘Ya Robbku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara ke­luar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.’ (QS. al-Isro’ [17]:80)

Maka kekuasaan yang menolong yang datang dari sisi Alloh secara khusus dan lebih dekat. Karena itu Alloh katakan: ‘Berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong’ yaitu pertolongan yang di­perkuat dengannya. Pertolongan yang datang dari sisi Alloh dan juga pertolongannya melalui orang­orang beriman.

Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:

"…. Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin". (QS. al-Anfal [8]:62)

Ilmu laduni adalah buah dari kesungguhan dalam beribadah dan mengikuti Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jujur bersama Alloh dan ikhlas kepada-Nya. Juga bersung­guh-sungguh dalam menuntut ilmu yang datang dari Rosul. Serta kesempurnaan ketundukan kepada beliau sehingga dibukakan untuknya memahami al-Qur’an dan as-Sunnah yang diberikan secara khusus kepadanya. Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Tho­lib radhiyallahu ‘anhu tatkala ia ditanya: “Apakah Rosul meng­khususkan engkau dengan sesuatu dari manusia lain?” -Tawabnya: “Tidak, demi Zat yang membolak-balikkan bijian dan yang menyembuhkan jiwa. Ke­cuali pemahaman yang diberikan Alloh kepada seseorang tentang kitab suci-Nya.”

Inilah ilmu laduni yang hakiki, adapun ilmu orang yang menyimpang dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta tidak terkait dengan keduanya maka itu adalah ilmu laduni yang datang dari bisikan nafsu sesat dan dari setan. Maka ia ilmu laduni tetapi dari mana? Ha­nya bisa diketahui ilmu laduni dari Alloh adalah de­ngan mencocokkannya dengan apa yang dibawa oleh Rosul dari Robbnya.

Maka ilmu laduni ada dua macam: laduni dari Alloh dan laduni dari setan. Yang menjadi pembeda antara keduanya adalah wahyu dan tidak ada lagi wahyu setelah Rosululloh. Adapun menjadikan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidhir sebagai pegangan dalam bolehnya meninggalkan wahyu dan memilih ilmu laduni, ini adalah kekafiran yang mengeluar­kan seseorang dari Islam serta boleh untuk dibunuh. Perbedaannya; Nabi Musa tidak diutus kepada Nabi Khidhir.           Dan Nabi Khidir pun tidak diperintahkan untuk mengikuti Nabi Musa. Jika ia diperintah untuk mengikuti Nabi Musa  maka tentulah wajib baginya untuk hijrah kepada Nabi Musa dan ia akan bersamanya. Oleh karena itu, ia berkata kepada Nabi Musa : ‘Engkau Musa
Nabi Bani Israil?’ Jawab Nabi Musa: ‘Ya.’

Sedangkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada selu­ruh makhluk. Maka kerosulannya adalah umum un­tuk jin dan manusia dalam setiap masa. Seandainya Nabi Musa dan Nabi Isa hidup maka keduanya akan menjadi pengikutnya. Apabila Nabi Isa tu­run (nanti di akhir zaman) maka Sesungguhnya dia akan menjalankan hukum syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barang siapa yang mengaku bahwa perumpa­maan dirinya dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagaikan Nabi Khidhir dengan Nabi Musa, atau ia membolehkan hal itu bagi seseorang dari golongan umat ini, maka hendaklah ia mengulang keislaman­nya dan mengulang bersyahadat dengan syahadat yang benar. Sesungguhnya keyakinan seperti itu membuatnya meninggalkan agama Islam secara total. Apalagi untuk dianggap sebagai wali Alloh yang khu­sus. Sesungguhnya ia adalah di antara wali-wali setan, penolongnya dan penggantinya. Ini adalah garis pembeda antara orang-orang zindik dan orang yang benar-benar istiqomah dari kalangan mereka.”[Lihat Madarijus-Salikin: 2/475-476]

Dalam ungkapan Ibnul-Qoyyim rahimahullah di atas dijelaskan bahwa ilmu laduni yang dari Alloh adalah pemaham­an yang diberikan Alloh kepada seseorang ketika ia belajar ilmu syariat yang dituntut kepada para ulama yang diiringi dengan keikhlasan dan ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya Bukan ilmu yang didapat melalui mimpi dan semadi, apalagi ilmu tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah. Segala ilmu yang bertentangan dengan al‑

Qur’an dan Sunnah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu adalah ilmu laduni yang datang dari setan.

Pada tempat lain Ibnul-Qoyyim rahimahullah berkata pula: “Ilmu laduni yang datang dari Alloh buah dari ketun­dukan dan rasa cinta yang melahirkan keinginan un­tuk melaksanakan amalan-amalan mandub (sunnah) setelah melaksanakan amalan-amalan wajib. Ilmu laduni yang datang dari setan adalah buah dari ber­paling dari wahyu (ilmu syariat) serta bisikan nafsu sesat dan setan.”[Lihat Madarijus-Salikin: 2/477 ]

Adapun yang diperoleh tanpa melalui sebab men­cari dalil maka itu tidak benar. Karena Alloh meng­gantungkan mengenal ilmu dengan sebab-sebabnya sebagaimana Alloh kaitkan kejadian alam dengan de­ngan sebab-sebab pula. Seorang manusia tidak akan mungkin memperoleh ilmu kecuali ada dalil menun­jukkannya kepada ilmu tersebut. Alloh telah men­yokong para rosul-Nya dengan berbagai macam dalil dan keterangan. Sebagai dalil yang menunjukkan me­reka bahwa ilmu yang datang kepada mereka adalah dari sisi Alloh. Dan dalil-dalil tersebut pula yang menunjukkan akan hal itu kepada umat mereka. Me­reka memiliki dalil dan keterangan yang amat jelas bahwa yang ilmu yang datang kepada mereka adalah dari Alloh.

Maka setiap ilmu yang tidak berdasarkan kepada dalil bagaikan pengakuan yang tidak memiliki bukti dan hukum yang tidak ada fakta. Jika demikian hal­nya maka ia tidak bisa dianggap ilmu apalagi diang­gap sebagai ilmu laduni.

Ilmu laduni adalah ilmu yang dibuktikan dengan dalil yang shohih bahwa ia datang dari sisi Alloh me­lalui para rosul-Nya. Apa yang di luar itu maka itu adalah ilmu laduni yang datang dari diri manusia itu sendiri, darinya datang kepadanya kembali.

Telah banjir ilmu laduni, amat murah harganya se­hingga setiap golongan mengaku mendapat ilmu laduni. Sehingga setiap orang berbicara tentang haki­kat iman, suluk (budi pekerti), serta nama dan sifat­-sifat Alloh menurut apa yang terlintas dalam pikiran yang dilontarkan setan ke dalam hatinya. Ia mengira ilmunya adalah ilmu laduni.

Maka orang zindik pun ikut mengaku bahwa ilmu mereka ilmu laduni. Yang menjadi persoalan ilmu la­duni siapa dan dari mana ilmu laduninya tersebut. Alloh telah mencela dengan celaan yang tajam terhadap siapa saja yang menisbahkan kepada Alloh sesuatu yang bukan dari-Nya.

Sebagaimana firman Alloh ‘Azza wa jalla:

"…. Mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Alloh “, padahal ia bukan dari sisi Alloh. Mereka ber­kata dusta terhadap Alloh sedang mereka mengetahui".
 (QS. Ali Imron [3]: 78)

Dan firman Alloh Ta’ala:
" Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Alloh……" (QS. al-Baqoroh [2]: 79)

Barang siapa yang berkata “Ilmu ini dari Alloh” sedangkan ia bohong dalam penisbahan tersebut. Maka baginya bagian yang cukup dari celaan yang yang terdapat dalam, ayat-ayat tersebut. Hal ini ba­nyak terdapat dalam al-Qur’an, Alloh mencela orang yang menyandarkan sesuatu kepada-Nya tanpa ilmu. dan orang yang berbicara tentang sesuatu atas nama Alloh tanpa ilmu. Oleh karena itu, Alloh membagi hal yang diharamkan menjadi empat tingkat. Dan Alloh menjadikan tingkatan tertinggi (ialah) berkata atas nama Alloh tanpa ilmu. Alloh menjadikannya tingkat­an tertinggi dari hal-hal yang diharamkan. Hal itu di­haramkan dalam segala kondisi, bahkan diharamkan dalam seluruh agama dan di atas lisan segala rosul. Orang yang mengatakan “Ini adalah ilmu laduni” ter­hadap sesuatu yang tidak bisa ia pastikan dari Alloh serta tidak ada pula keterangan dari Alloh bahwa ilmu itu dari-Nya. Orang tersebut adalah pendusta alias pembohong di atas nama Alloh, ia adalah orang yang paling zalim dan paling dusta”

Demikianlah bahasan kita kali ini, semoga Alloh Ta’ala menjadikan kita orang-orang yang senantiasa berpe­gang teguh dengan ilmu-ilmu yang beliau warisan kepada umatnya. Juga menunjuki sesiapa yang ters­esat di kalangan umat ini kepada jalan yang benar. Wallohu A’lam.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ وَأَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

 


[Disalin dari Majalah AL FURQON. Srowo, Sidayu, Gresik. Jawa-Timur. Edisi 4 tahun ke: 8, Dzulqo’dah 1429H/November 2008M]

Sumber : http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2010/06/05/eksistensi-hakikat-dan-syariat-dalam-istilah-sufi/

Read more: http://www.abuayaz.co.cc/2011/03/eksistensi-hakikat-dan-syariat-dalam.html#ixzz1HTus0Lv9

Selasa, 22 Maret 2011

CADAR, CELANA DI ATAS MATA KAKI, JENGGOT BUKAN CIRI TERORIS


Ketahuilah wahai kaum Muslimin, menggunakan cadar bagi wanita muslimah, mengangkat celana jangan sampai menutupi mata kaki dan membiarkan janggut tumbuh bagi seorang laki-laki Muslim adalah kewajiban agama dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan terorisme, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti bukti-buktinya insya Allah dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta penjelasan para Ulama ummat.
Benar bahwa sebagian Teroris juga mengamalkan kewajiban-kewajiban di atas, namun apakah setiap yang mengamalkannya dituduh Teroris?! Kalau begitu bersiaplah menjadi bangsa yang teramat dangkal pemahamannya… Maka inilah keterangan ringkas yang insya Allah dapat meluruskan kesalah pahaman.
Pertama: Dasar kewajiban menggunakan cadar bagi Muslimah
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Perhatikanlah, ayat ini memerintahkan para wanita untuk menutup seluruh tubuh mereka tanpa kecuali. Berkata As-Suyuthi rahimahullah, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasatul Fadhilah, hal. 51, karya Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah).
Istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang mulia: ‘Aisyah radhiyallahu’anha dan para wanita di zamannya juga menggunakan cadar, sebagaimana penuturan ‘Aisyah radhiyallahu’anha berikut:
“Para pengendara (laki-laki) melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka telah dekat kepada kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
Kedua: Dasar kewajiban mengangkat celana, jangan sampai menutupi mata kaki bagi laki-laki Muslim
Banyak sekali dalil yang melarang isbal (memanjangkan pakaian sampai menutupi mata kaki), diantaranya sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu:
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Al-Bukhori, no. 5787).
Dan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha:
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Ahmad, 6/59,257).
Ketiga: Dasar kewajiban membiarkan janggut tumbuh bagi laki-laki Muslim
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong kumis dan membiarkan janggut.” (HR. Muslim no. 624)
Juga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Berbedalah dengan orang-orang musyrik; potonglah kumis dan biarkanlah janggut.” (HR. Muslim no. 625).
Dan masih banyak hadits lain yang menunjukkan perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk membiarkan janggut tumbuh, sedang perintah hukum asalnya adalah wajib sepanjang tidak ada dalil yang memalingkannya dari hukum asal.
Demikianlah penjelasan ringkas dari kami, semoga setelah mengetahui ini kita lebih berhati-hati lagi dalam menyikapi orang-orang yang mengamalkan sejumlah kewajiban di atas. Tentu sangat tidak bijaksana apabila kita mengeneralisir setiap orang yang nampak kesungguhannya dalam menjalankan agama sebagai teroris atau bagian dari jaringan teroris, bahkan minimal ada dua resiko berbahaya apabila seorang mencela dan membenci satu kewajiban agama atau membenci orang-orang yang mengamalkannya (disebabkan karena amalan tersebut):
Pertama: Berbuat zhalim kepada wali-wali Allah, sebab wali-wali Allah adalah orang-orang yang senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik perintah itu wajib maupun sunnah. Dan barangsiapa yang memusuhi wali Allah dia akan mendapatkan kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. (Yunus: 62-63)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada amal yang Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah sampai Aku mencintainya. Apabila Aku sudah mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Kalau dia meminta kepada-Ku pasti akan Aku beri. Dan kalau dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti akan Aku lindungi.’.” (HR. Bukhari, lihat hadits Arba’in ke-38).
Faidah: Para Ulama menjelasakan bahwa makna, “Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk melangkah” adalah hidayah dari Allah Ta’ala kepada wali-Nya, sehingga ia tidak mendengar kecuali yang diridhai Allah, tidak melihat kepada apa yang diharamkan Allah dan tidak menggunakan kaki dan tangannya kecuali untuk melakukan kebaikan.
Kedua: Perbuatan tersebut bisa menyebabkan kekafiran, sebab mencela dan membenci satu bagian dari syari’at Allah Jalla wa ‘Ala, baik yang wajib maupun yang sunnah, atau membenci pelakunya (disebabkan karena syari’at yang dia amalkan) merupakan kekafiran kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pada pembatal keislaman yang kelima:
“Barangsiapa membenci suatu ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam walaupun dia mengamalkannya, maka dia telah kafir.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Yang demikian karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan amalan-amalan mereka.” (Muhammad: 9)
Maka berhati-hatilah wahai kaum Muslimin.
Dan kepada Ikhwan dan Akhwat yang telah diberikan hidayah oleh Allah untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban di atas hendaklah bersabar dan tetap tsabat (kokoh) di atas sunnah, karena memang demikianlah konsekuensi keimanan, mesti ada ujian yang menyertainya.
Dan wajib bagi kalian untuk senantiasa menuntut ilmu agama dan menjelaskan kepada ummat dengan hikmah dan lemah lembut, serta hujjah yang kuat agar terbuka hati mereka insya Allah, untuk menerima kebenaran ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah, bukan pemahaman Teroris. Wallohul Musta’an.
Tanah Baru, Depok, 3 Ramadhan 1430 H.