Sabtu, 26 Februari 2011

Biografi Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah


Oleh: Editor Pustaka Sahifa

TANPA HAK CIPTA. Anda diperbolehkan menyebarluaskan, mengutip/menyalin sebagian atau seluruh isi dari artikel ini dengan syarat Anda tidak melakukan perubahan apapun, tidak untuk tujuan komersil dan harus mencantumkan sumbernya.
Beliau rahimahullah adalah salah seorang imam Ahlus-Sunnah abad ini, yang mengorbankan seluruh hidupnya demi mengabdikan diri kepada Allah, seorang laki-laki agung yang namanya telah memenuhi cakrawala. Beliau rahimahullah tidak saja dikenal sebagai seorang ulama ahli hadits, akan tetapi beliau rahimahullah juga salah seorang diantara barisan para ulama yang mendapat predikat sebagai pembaharu Islam (Mujaddid al-Islam).

Nama, Kelahiran dan Pertumbuhan Syaikh al-Albanirahimahullah

Beliau adalah Muhammad Nashiruddin bin Nuh, dikenal dengan kuniah Abu 'Abdurrahman. Beliau lahir tahun 1914 M di tengah sebuah keluarga yang sangat sederhana dan sibuk dengan ilmu agama, di ibukota Albania. Bapaknya, haji Nuh, adalah salah seorang ulama besar Albania kala itu, yang pernah menuntut ilmu di Istambul, Turki, kemudian kembali ke Albania untuk mengajarkan ilmu dan berdakwah.
Lingkungan keluarga yang menaungi Syaikh al-Albani ketika masih kanak-kanak, penuh dengan cahaya Islam, yang tampak sangat terjaga dalam setiap sisi.

Hijrah Demi Melindungi Agama

Ketika Ahmad Zogo menjadi raja Albania, dia mulai melancarkan berbagai perubahan aturan sosial yang revolusioner bagaikan hantaman hebat yang menggoncangkan pondasi-pondasi lingkungan Islami tersebut. Karena tindakan yang dilakukan oleh raja Ahmad Zogo tersebut sama dengan apa yang dilakukan oleh thaghut Turki, Mustafa Ataturk; dimana para wanita Albania diharuskan menanggalkan hijabnya, sehingga rangkaian fitnah dan malapetaka pun tak terhindarkan. Sejak saat itu, mulailah kaum muslimin yang mengkhawatirkan agama mereka, berhijrah ke berbagai negeri. Termasuk diantara yang paling pertama hijrah adalah keluarga Syaikh Haji Nuh, yang membawa agama dan keluarganya ke Suriah. Termasuk di dalamnya, sang Imam kecil, Muhammad Nashiruddin al-Albani.

Al-Albani Mulai Menuntut Ilmu

Di Damaskus, lelaki kecil Muhammad Nashiruddin mulai menimba ilmu dengan mempelajari Bahasa Arab di Madrasah Jam'iyah al-Is'af al-Hairi. Disanalah beliau rahimahullah mulai menapaki dunia ilmu dan kemudian mendaki kemuliaan sebagai seorang alim.
Orang yang paling pertama menanamkan pengaruhnya adalah bapaknya sendiri, Haji Nuh, yang merupakan salah seorang ulama Madzhab Hanafi kala itu. Dan untuk berapa lama beliau rahimahullah mengikuti taqlid madzhabi yang diajarkan bapaknya. Akan tetapi hidayah Allah selalu datang kepada orang yang dikehendaki-Nya kebaikan pada dirinya. Dan kemudian beliau rahimahullah muncul sebagai seorang yang tidak terkekang madzhab tertentu.
Begitulah al-Albani muda ini muncul sebagai seorang pemuda yang unggul dalam kajian hadits, yang pindah dari satu majelis pengajian ke majelis lainnya demi menimba ilmu.
Semua sepak terjang beliau rahimahullah dalam mencari ilmu tadi, berbarengan dengan kehidupan beliau rahimahullah yang sangat pas-pasan. Sehingga untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari, beliau bergelut sebagai seorang tukang (servis) jam, dan beliau dikenal sangat ahli dalam pekerjaan tersebut. Dan semua itu sama sekali tidak menghalangi beliau rahimahullah untuk menjadi seorang alim yang besar di kemudian hari.

Menjadi Guru Besar di Universitas Islam Madinah

Berkat jerih payah dan keuletan sang Imam -dan tentu saja karena taufik dari Allah-, sejumlah karya tulis beliau rahimahullah mulai terbit dari tangan beliau dalam berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, akidah dan lainnya, terlebih dalam ilmu hadits yang memang merupakan spesifikasi beliau; yang menunjukkan kepada dunia ilmiah, luasnya ilmu yang telah Allah anugerahkan kepada beliau rahimahullah; berupa pemahaman yang shahih, ilmu yang luas, dan kajian yang dalam tentang hadits, dari berbagai sisinya. Ditambah lagi dengan manhaj beliau yang lurus, yang menjadikan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai tolok ukur dan dasar dalam segala sesuatu. Semua itu menjadikan sang Imam muncul sebagai sosok yang fenomenal, menjadi rujukan ahli ilmu dan dengan cepat keutamaan yang ada pada diri beliau dikenal oleh berbagai kalangan. Maka ketika Universitas Islam Madinah mulai dirintis, yang dipelopori oleh Syaikh al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh, yang saat itu adalah Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh al-Albani rahimahullah langsung menjadi pilihan untuk menjadi guru besar Bidang Studi Hadits disana.
Disana sang Imam sempat mengajar, dengan berbagai suka dan duka, selama tiga tahun. Dalam masa-masa itu, beliau rahimahullah adalah figur dan teladan dalam keuletan, kesungguhan dan keikhlasan mengabdi, sampai seringkali, pada waktu istirahat diantara mata pelajaran, beliau ikut serta duduk di tengah para mahasiswa diatas pasir demi menjawab pertanyaan dan berdiskusi dengan murid-murid beliau.
Beliau adalah seorang yang sangat rendah hati, sehingga di tengah para mahasiswanya, beliau bagaikan salah seorang diantara mereka. Tak heran bila mobil pribadi beliau yang sederhana selalu dipenuhi oleh para murid-murid beliau yang selalu ingin mengambil faidah dari beliau rahimahullah. Kedekatan dan keakraban beliau adalah bukti bahwa pengajaran-pengajaran beliau memang menuai berkah disana.
Diantara kenangan dan berkah yang masih tersisa sampai saat ini di Universitas Islam Madinah adalah metodologi kuliah yang beliau sampaikan dalam sub-disiplin "Ilmu Isnad." Beliau mengajarkan bidang ini dengan metode, memilih hadits dari Shahih Muslim misalnya, lalu menuliskannnya di papan tulis lengkap dengan sanad. Berikutnya beliau membawa kitab-kitab biografi rawi-rawi hadits, lalu menjelaskan kepada para mahasiswa tentang metodologi kritik rawi dan metodologi takhrij hadits, serta segala hal yang berkaitan dengannya.
Pengajaran Ilmu Isnad yang dirintis beliau ini, menempatkan sosok beliau rahimahullahsebagai guru yang paling pertama menetapkan sub-disiplin ini sebagai mata pelajaran di perguruan tinggi, dan itu yang paling pertama di dunia. Dan ketika sang Imam meninggalkan Universitas Islam Madinah untuk menetap di Yordania, metodologi pengajaran ini terus dijalankan oleh para dosen yang menggantikan beliau.

Menjadi Imam Para Ulama Ahli Hadits Abad Ini

Begitu banyaknya karya tulis dan hasil-hasil studi beliau rahimahullah dalam dsiplin ilmu hadits; yang dikenal dengan kesimpulan-kesimpulan yang detil dan cermat, menjadikan beliau rahimahullah sebagai rujukan para ulama dan para penuntut ilmu di berbagai negara Islam. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru dunia untuk mengambil faidah dari berkah ilmu beliau.
Berikut ini beberapa hal yang menggambarkan kedudukan tinggi beliau:
  1. Beliau rahimahullah terpilih sebagai anggota pada dewan kajian hadits yang dibentuk oleh Mesir dan Suriah, untuk memimpin komite publikasi kitab-kitab sunnah.
  2. Menjadi guru besar bidang studi hadits di Universitas Islam Madinah, sebagaimana yang telah disinggung. Bahkan kemudian beliau dipilih sebagai anggota dewan rektor di universitas yang sama, periode 1381-1383 H.
  3. Beliau pernah diminta menjadi guru besar di Universitas as-Salafiyah, India, tapi beliau tidak menyanggupi.
  4. Beliau juga pernah diminta oleh Menteri Wakaf Saudi Arabia, Syaikh Hasan 'Abdullah Alu asy-Syaikh, untuk menjadi guru besar ilmu hadits di Universitas Makkah al-Mukarramah.
  5. Oleh Raja Khalid bin 'Abdul-Aziz, raja Saudi Arabia, beliau terpilih kembali sebagai anggota dewan rektor Universitas Islam Madinah periode 1395-1398 H.
  6. Perpustakaan azh-Zhahiriyah, di Damaskus, mengkhususkan satu ruang tersendiri untuk Syaikh, demi memudahkan studi dan penelitian beliau. Dan ini tidak pernah terjadi bagi seorang pun sebelum beliau.

Pujian Para Ulama

  1. Sikap hormat Syaikh al-Allamah Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullah -yang dikenal sebagai seorang ahli tafsir yang tidak ada bandingannya di zamannya- yang tidak lazim kepada Syaikh al-Albani rahimahullah, dimana saat beliau melihat Syaikh al-Albani berlalu padahal beliau tengah mengajar di Masjid Nabawi, beliau menyempatkan berdiri untuk mengucapkan salam kepada Syaikh al-Albani, demi menghormatinya.
  2. Pujian al-Allamah Muhibbuddin al-Khathib rahimahullah; “Diantara para dai kepada as-Sunnah, yang menghabiskan hidupnya demi bekerja keras untuk menghidupkannya, adalah saudara kami Abu 'Abdurrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati al-Albani.
  3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh rahimahullah, pernah menyebut al-Albani dengan pujian; “Beliau adalah Ahli Sunnah, pembela kebenaran dan musuh yang menghantam para pengikut kebathilan.
  4. Pujian Syaikh 'Abdul-Aziz bin Baz rahimahullah; “Saya tidak pernah melihat seorang ulama di bawah kolong langit ini, di abad modern ini seperti al-Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani.
  5. Pujian Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah; “Yang saya ketahui tentang Syaikh, dari pertemuan saya dengan beliau -dan itu sangat sedikit- bahwa beliau sangat teguh di dalam mengamalkan as-Sunnah dan memerangi bid'ah, baik dalam akidah maupun amaliyah. Dan dari telaah saya terhadap karya tulis beliau, saya mengetahui bahwa beliau memiliki ilmu yang luas di dalam hadits, riwayat maupun dirayat. Dan bahwasanya Allah memberikan manfaat yang banyak dari karya tulis beliau, baik dari segi ilmu maupun metodologi…
Dan begitu banyak pujian yang beliau terima, yang tidak mungkin disebut seluruhnya dalam lembaran biografi singkat ini.

Karya Tulis Sang Imam

Berkah hidup dan sumbangsih sang Imam kepada dunia Islam, tidak saja berupa dakwah kepada al-Qur'an dan as-Sunnah berdasarkan manhaj as-Salaf ash-Shalih, yang memenuhi cakrawala dan menghentakkan para pengikut kesesatan. tapi juga meninggalkan karya tulis yang di dalamnya tertuang hasil-hasil studi ilmiah yang tidak kita dapatkan dalam karya tulis lain. Karya tulis beliau yang telah tercetak tidak kurang dari 119 buah, baik yang berupa ta'lifatau takhrij. Bahkan masih banyak yang berbentuk manuskrip.
Berikut ini diantara karya tulis beliau:
  1. Adab az-Zafaf.
  2. Al-Ayat al-Bayyinat fi Adami Sima'i al-Amwat.
  3. Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'An As'ilah Lajnah Masjid al-Jami'ah.
  4. Ahkam al-Jana'iz.
  5. Irwa' al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar as-Sabil.
  6. Tadzhir as-Sajid min Ittikhadz al-Qubur Masajid.
  7. Tahrim Alat ath-Tharb.
  8. Shifah Shalati an-Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam min at-Takbir Ila at-Taslim.
  9. Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah.
  10. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah.
  11. At-Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu, dan lain-lain.
Dan ketika menjelang ajal, beliau berwasiat agar seluruh perpustakaan pribadinya dihibahkan ke Universitas Islam Madinah.
Beliau wafat pada hari Sabtu, 22 Jumadil-Akhir 1420 H. Jenazah beliau dipersaksikan dengan iringan ribuan para pelayat dari berbagai negeri. Semoga Allah melimpahkan rahamat kepada sang Imam, yang telah berjasa besar menggaungkan kembali dakwah as-Salafiyah di abad ini.
Demikian biografi singkat ini kami tulis yang disadur dari kitab al-Imam al-Mujaddid al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani, oleh Umar Abu Bakar.

Incoming search terms:

Kategori: Sosok/Tokoh
Tag: 
Sumber: Artikel ini disalin dari terjemah Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, Hadits-hadits Shahih tentang Anjuran dan Janji Pahala, Ancaman dan Dosa, Jilid 1, halaman 532-535, cetakan pertama, Shafar 1428 H/Maret 2007 M, ISBN 978-979-1286-01-5, yang diterbitkan oleh Pustaka Sahifa, Jakarta. Telp: (021) 9277-2244, 470-1616. Fax: (021) 4788-2350.

Biografi Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah


Oleh: Editor Pustaka Sahifa

TANPA HAK CIPTA. Anda diperbolehkan menyebarluaskan, mengutip/menyalin sebagian atau seluruh isi dari artikel ini dengan syarat Anda tidak melakukan perubahan apapun, tidak untuk tujuan komersil dan harus mencantumkan sumbernya.
Beliau rahimahullah adalah salah seorang imam Ahlus-Sunnah abad ini, yang mengorbankan seluruh hidupnya demi mengabdikan diri kepada Allah, seorang laki-laki agung yang namanya telah memenuhi cakrawala. Beliau rahimahullah tidak saja dikenal sebagai seorang ulama ahli hadits, akan tetapi beliau rahimahullah juga salah seorang diantara barisan para ulama yang mendapat predikat sebagai pembaharu Islam (Mujaddid al-Islam).

Nama, Kelahiran dan Pertumbuhan Syaikh al-Albanirahimahullah

Beliau adalah Muhammad Nashiruddin bin Nuh, dikenal dengan kuniah Abu 'Abdurrahman. Beliau lahir tahun 1914 M di tengah sebuah keluarga yang sangat sederhana dan sibuk dengan ilmu agama, di ibukota Albania. Bapaknya, haji Nuh, adalah salah seorang ulama besar Albania kala itu, yang pernah menuntut ilmu di Istambul, Turki, kemudian kembali ke Albania untuk mengajarkan ilmu dan berdakwah.
Lingkungan keluarga yang menaungi Syaikh al-Albani ketika masih kanak-kanak, penuh dengan cahaya Islam, yang tampak sangat terjaga dalam setiap sisi.

Hijrah Demi Melindungi Agama

Ketika Ahmad Zogo menjadi raja Albania, dia mulai melancarkan berbagai perubahan aturan sosial yang revolusioner bagaikan hantaman hebat yang menggoncangkan pondasi-pondasi lingkungan Islami tersebut. Karena tindakan yang dilakukan oleh raja Ahmad Zogo tersebut sama dengan apa yang dilakukan oleh thaghut Turki, Mustafa Ataturk; dimana para wanita Albania diharuskan menanggalkan hijabnya, sehingga rangkaian fitnah dan malapetaka pun tak terhindarkan. Sejak saat itu, mulailah kaum muslimin yang mengkhawatirkan agama mereka, berhijrah ke berbagai negeri. Termasuk diantara yang paling pertama hijrah adalah keluarga Syaikh Haji Nuh, yang membawa agama dan keluarganya ke Suriah. Termasuk di dalamnya, sang Imam kecil, Muhammad Nashiruddin al-Albani.

Al-Albani Mulai Menuntut Ilmu

Di Damaskus, lelaki kecil Muhammad Nashiruddin mulai menimba ilmu dengan mempelajari Bahasa Arab di Madrasah Jam'iyah al-Is'af al-Hairi. Disanalah beliau rahimahullah mulai menapaki dunia ilmu dan kemudian mendaki kemuliaan sebagai seorang alim.
Orang yang paling pertama menanamkan pengaruhnya adalah bapaknya sendiri, Haji Nuh, yang merupakan salah seorang ulama Madzhab Hanafi kala itu. Dan untuk berapa lama beliau rahimahullah mengikuti taqlid madzhabi yang diajarkan bapaknya. Akan tetapi hidayah Allah selalu datang kepada orang yang dikehendaki-Nya kebaikan pada dirinya. Dan kemudian beliau rahimahullah muncul sebagai seorang yang tidak terkekang madzhab tertentu.
Begitulah al-Albani muda ini muncul sebagai seorang pemuda yang unggul dalam kajian hadits, yang pindah dari satu majelis pengajian ke majelis lainnya demi menimba ilmu.
Semua sepak terjang beliau rahimahullah dalam mencari ilmu tadi, berbarengan dengan kehidupan beliau rahimahullah yang sangat pas-pasan. Sehingga untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari, beliau bergelut sebagai seorang tukang (servis) jam, dan beliau dikenal sangat ahli dalam pekerjaan tersebut. Dan semua itu sama sekali tidak menghalangi beliau rahimahullah untuk menjadi seorang alim yang besar di kemudian hari.

Menjadi Guru Besar di Universitas Islam Madinah

Berkat jerih payah dan keuletan sang Imam -dan tentu saja karena taufik dari Allah-, sejumlah karya tulis beliau rahimahullah mulai terbit dari tangan beliau dalam berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, akidah dan lainnya, terlebih dalam ilmu hadits yang memang merupakan spesifikasi beliau; yang menunjukkan kepada dunia ilmiah, luasnya ilmu yang telah Allah anugerahkan kepada beliau rahimahullah; berupa pemahaman yang shahih, ilmu yang luas, dan kajian yang dalam tentang hadits, dari berbagai sisinya. Ditambah lagi dengan manhaj beliau yang lurus, yang menjadikan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai tolok ukur dan dasar dalam segala sesuatu. Semua itu menjadikan sang Imam muncul sebagai sosok yang fenomenal, menjadi rujukan ahli ilmu dan dengan cepat keutamaan yang ada pada diri beliau dikenal oleh berbagai kalangan. Maka ketika Universitas Islam Madinah mulai dirintis, yang dipelopori oleh Syaikh al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh, yang saat itu adalah Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh al-Albani rahimahullah langsung menjadi pilihan untuk menjadi guru besar Bidang Studi Hadits disana.
Disana sang Imam sempat mengajar, dengan berbagai suka dan duka, selama tiga tahun. Dalam masa-masa itu, beliau rahimahullah adalah figur dan teladan dalam keuletan, kesungguhan dan keikhlasan mengabdi, sampai seringkali, pada waktu istirahat diantara mata pelajaran, beliau ikut serta duduk di tengah para mahasiswa diatas pasir demi menjawab pertanyaan dan berdiskusi dengan murid-murid beliau.
Beliau adalah seorang yang sangat rendah hati, sehingga di tengah para mahasiswanya, beliau bagaikan salah seorang diantara mereka. Tak heran bila mobil pribadi beliau yang sederhana selalu dipenuhi oleh para murid-murid beliau yang selalu ingin mengambil faidah dari beliau rahimahullah. Kedekatan dan keakraban beliau adalah bukti bahwa pengajaran-pengajaran beliau memang menuai berkah disana.
Diantara kenangan dan berkah yang masih tersisa sampai saat ini di Universitas Islam Madinah adalah metodologi kuliah yang beliau sampaikan dalam sub-disiplin "Ilmu Isnad." Beliau mengajarkan bidang ini dengan metode, memilih hadits dari Shahih Muslim misalnya, lalu menuliskannnya di papan tulis lengkap dengan sanad. Berikutnya beliau membawa kitab-kitab biografi rawi-rawi hadits, lalu menjelaskan kepada para mahasiswa tentang metodologi kritik rawi dan metodologi takhrij hadits, serta segala hal yang berkaitan dengannya.
Pengajaran Ilmu Isnad yang dirintis beliau ini, menempatkan sosok beliau rahimahullahsebagai guru yang paling pertama menetapkan sub-disiplin ini sebagai mata pelajaran di perguruan tinggi, dan itu yang paling pertama di dunia. Dan ketika sang Imam meninggalkan Universitas Islam Madinah untuk menetap di Yordania, metodologi pengajaran ini terus dijalankan oleh para dosen yang menggantikan beliau.

Menjadi Imam Para Ulama Ahli Hadits Abad Ini

Begitu banyaknya karya tulis dan hasil-hasil studi beliau rahimahullah dalam dsiplin ilmu hadits; yang dikenal dengan kesimpulan-kesimpulan yang detil dan cermat, menjadikan beliau rahimahullah sebagai rujukan para ulama dan para penuntut ilmu di berbagai negara Islam. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru dunia untuk mengambil faidah dari berkah ilmu beliau.
Berikut ini beberapa hal yang menggambarkan kedudukan tinggi beliau:
  1. Beliau rahimahullah terpilih sebagai anggota pada dewan kajian hadits yang dibentuk oleh Mesir dan Suriah, untuk memimpin komite publikasi kitab-kitab sunnah.
  2. Menjadi guru besar bidang studi hadits di Universitas Islam Madinah, sebagaimana yang telah disinggung. Bahkan kemudian beliau dipilih sebagai anggota dewan rektor di universitas yang sama, periode 1381-1383 H.
  3. Beliau pernah diminta menjadi guru besar di Universitas as-Salafiyah, India, tapi beliau tidak menyanggupi.
  4. Beliau juga pernah diminta oleh Menteri Wakaf Saudi Arabia, Syaikh Hasan 'Abdullah Alu asy-Syaikh, untuk menjadi guru besar ilmu hadits di Universitas Makkah al-Mukarramah.
  5. Oleh Raja Khalid bin 'Abdul-Aziz, raja Saudi Arabia, beliau terpilih kembali sebagai anggota dewan rektor Universitas Islam Madinah periode 1395-1398 H.
  6. Perpustakaan azh-Zhahiriyah, di Damaskus, mengkhususkan satu ruang tersendiri untuk Syaikh, demi memudahkan studi dan penelitian beliau. Dan ini tidak pernah terjadi bagi seorang pun sebelum beliau.

Pujian Para Ulama

  1. Sikap hormat Syaikh al-Allamah Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullah -yang dikenal sebagai seorang ahli tafsir yang tidak ada bandingannya di zamannya- yang tidak lazim kepada Syaikh al-Albani rahimahullah, dimana saat beliau melihat Syaikh al-Albani berlalu padahal beliau tengah mengajar di Masjid Nabawi, beliau menyempatkan berdiri untuk mengucapkan salam kepada Syaikh al-Albani, demi menghormatinya.
  2. Pujian al-Allamah Muhibbuddin al-Khathib rahimahullah; “Diantara para dai kepada as-Sunnah, yang menghabiskan hidupnya demi bekerja keras untuk menghidupkannya, adalah saudara kami Abu 'Abdurrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati al-Albani.
  3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh rahimahullah, pernah menyebut al-Albani dengan pujian; “Beliau adalah Ahli Sunnah, pembela kebenaran dan musuh yang menghantam para pengikut kebathilan.
  4. Pujian Syaikh 'Abdul-Aziz bin Baz rahimahullah; “Saya tidak pernah melihat seorang ulama di bawah kolong langit ini, di abad modern ini seperti al-Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani.
  5. Pujian Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah; “Yang saya ketahui tentang Syaikh, dari pertemuan saya dengan beliau -dan itu sangat sedikit- bahwa beliau sangat teguh di dalam mengamalkan as-Sunnah dan memerangi bid'ah, baik dalam akidah maupun amaliyah. Dan dari telaah saya terhadap karya tulis beliau, saya mengetahui bahwa beliau memiliki ilmu yang luas di dalam hadits, riwayat maupun dirayat. Dan bahwasanya Allah memberikan manfaat yang banyak dari karya tulis beliau, baik dari segi ilmu maupun metodologi…
Dan begitu banyak pujian yang beliau terima, yang tidak mungkin disebut seluruhnya dalam lembaran biografi singkat ini.

Karya Tulis Sang Imam

Berkah hidup dan sumbangsih sang Imam kepada dunia Islam, tidak saja berupa dakwah kepada al-Qur'an dan as-Sunnah berdasarkan manhaj as-Salaf ash-Shalih, yang memenuhi cakrawala dan menghentakkan para pengikut kesesatan. tapi juga meninggalkan karya tulis yang di dalamnya tertuang hasil-hasil studi ilmiah yang tidak kita dapatkan dalam karya tulis lain. Karya tulis beliau yang telah tercetak tidak kurang dari 119 buah, baik yang berupa ta'lifatau takhrij. Bahkan masih banyak yang berbentuk manuskrip.
Berikut ini diantara karya tulis beliau:
  1. Adab az-Zafaf.
  2. Al-Ayat al-Bayyinat fi Adami Sima'i al-Amwat.
  3. Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'An As'ilah Lajnah Masjid al-Jami'ah.
  4. Ahkam al-Jana'iz.
  5. Irwa' al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar as-Sabil.
  6. Tadzhir as-Sajid min Ittikhadz al-Qubur Masajid.
  7. Tahrim Alat ath-Tharb.
  8. Shifah Shalati an-Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam min at-Takbir Ila at-Taslim.
  9. Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah.
  10. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah.
  11. At-Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu, dan lain-lain.
Dan ketika menjelang ajal, beliau berwasiat agar seluruh perpustakaan pribadinya dihibahkan ke Universitas Islam Madinah.
Beliau wafat pada hari Sabtu, 22 Jumadil-Akhir 1420 H. Jenazah beliau dipersaksikan dengan iringan ribuan para pelayat dari berbagai negeri. Semoga Allah melimpahkan rahamat kepada sang Imam, yang telah berjasa besar menggaungkan kembali dakwah as-Salafiyah di abad ini.
Demikian biografi singkat ini kami tulis yang disadur dari kitab al-Imam al-Mujaddid al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani, oleh Umar Abu Bakar.

Incoming search terms:

Kategori: Sosok/Tokoh
Tag: 
Sumber: Artikel ini disalin dari terjemah Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, Hadits-hadits Shahih tentang Anjuran dan Janji Pahala, Ancaman dan Dosa, Jilid 1, halaman 532-535, cetakan pertama, Shafar 1428 H/Maret 2007 M, ISBN 978-979-1286-01-5, yang diterbitkan oleh Pustaka Sahifa, Jakarta. Telp: (021) 9277-2244, 470-1616. Fax: (021) 4788-2350.

Jumat, 25 Februari 2011

Imam Syafi'i


Imam Syafi’i, Nashirus-Sunnah wal-Hadits, Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi

Oleh: Redaksi Majalah Fatawa
TANPA HAK CIPTA. Anda diperbolehkan menyebarluaskan, mengutip/menyalin sebagian atau seluruh isi dari artikel ini dengan syarat Anda tidak melakukan perubahan apapun, tidak untuk tujuan komersil dan harus mencantumkan sumbernya.
Beliau telah menghafal al-Qur'an pada saat berusia 7 (tujuh) tahun, lalu membaca dan menghafal kitab al-Muwaththa' karya Imam Malik pada usia 12 (dua belas) tahun.

Nama dan Nasab

Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu 'Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin 'Utsman bin Syafi' bin as-Saib bin 'Ubaid bin 'Abdu Yazid bin Hisyam bin al-Muththalib bin 'Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada diri 'Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kadang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallamkarena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu Hasyim bin Abdu Manaf (saudara al-Muththalib).
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah1. Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di 'Asqalan2 dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda disana. Syafi', kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi'i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar(golongan muda) Nabi. As-Saib, bapak Syafi', sendiri termasuk sahabat kibar (golongan tua) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraisy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi'i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi'i bukanlah asli keturunan Quraisy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala' saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin 'Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azdiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi'i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath (menetapkan hukum dari dalilnya).

Waktu dan Tempat Kelahirannya

Beliau dilahirkan pada tahun 150 H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah3. Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 (sepuluh) tahun, beliau dibawa ke Makkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu

Di Makkah, Imam Syafi'i dan ibunya tinggal di dekat Syi'bu al-Khaif. Disana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi'i bercerita; “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal al-Qur'an), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat al-Qur'an, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku; 'Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.'” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal al-Qur'an di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil-Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal al-Qur'an pada saat berusia 7 (tujuh) tahun, lalu membaca dan menghafal kitab al-Muwaththa' karya Imam Malik pada usia 12 (dua belas) tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya.
Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Makkah-, dan al-Husain bin 'Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Makkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-'Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi' –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin 'Uyainah –ahli hadits Makkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa'id bin Salim, Fudhail bin 'Iyadh, dan lain-lain.
Di Makkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughah, dan Muwaththa' Imam Malik. Disamping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat al-Anfal [8]. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 diantaranya tepat mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa'. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa' yang telah dihafalnya di Makkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179 H. Disamping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, 'Abdul-'Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma'il bin Ja'far, Ibrahim bin Sa'd dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Makkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Disana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-.
Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Makkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan 'Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi'i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani 'Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani 'Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan 'Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang 'Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi'i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu', padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu' model orang-orang Syi'ah. Bahkan Imam Syafi'i menolak keras sikap tasysyu' model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta 'Utsman radhiyallahu 'anhuma, dan hanya meyakini keimaman Aliradhiyallahu 'anhu, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam al-Qur'an maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang Syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang 'Alawiyah. Beliau bersama orang-orang 'Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi'i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan 'Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra'yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma 'il bin 'Ulayyah dan Abdul-Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Makkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Makkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu diantara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kemasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi'i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat al-Qur'an dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 (sembilan) tahun mengajar di Makkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ashhabul-Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar disana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ashhabul-Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra'yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ' al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra'yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 H beliau balik (kembali) ke Makkah. Disana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Makkah.
Tahun 198 H, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja disana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi'i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-Salaf ash-Shalih –yang selama ini dipegangnya- didalam memahami masalah-masalah syari'at. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syari'at padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul-Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham al-Qur'an itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Karena perubahan itulah, Imam Syafi'i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Disana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya, ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya disana.

Keteguhannya Membela Sunnah

Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ashhabul-Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan al-Qur'an dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata; “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata; “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata; “Bagi Syafi'i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan perilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi'i berkata; “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata; “Merupakan madzhab Imam Syafi'i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan al-Qur'an dan as-Sunnah dan memilih ilmu kalam.

Wafatnya

Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jum'at setelah shalat Isya' hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 H dalam usia 54 (lima puluh empat) tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi'i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau; “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu 'Abdillah?” Beliau menjawab; “Allah mendudukkan aku diatas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.

Karangan-Karangannya

Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal diantara kitab-kitabnya adalah al-'Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai al-Qur'an dan as-Sunnah serta kedudukannya dalam syari'at.
Sumber:
  1. Al-'Umm, bagian muqaddimah hal. 3-33.
  2. Siyar A'lam an-Nubala'.
  3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi'i, terjemah kitab Manhaj al-Imam asy-Syafi'i fi Itsbat al-'Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam asy-Syafi'i, Bogor.
Catatan Kaki:
  1. ^ Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman.
  2. ^ Kota tepi pantai di wilayah Palestina.
  3. ^ Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh.

Incoming search terms:

Kategori: Majalah FatawaRedaksi Majalah FatawaSosok/Tokoh
Sumber: Artikel ini disalin dari majalah Fatawa, volume 1 nomor 4, Dzulhijjah 1423 H – 2003 M, halaman 58-64.