Rabu, 24 Agustus 2011

Golongan Yang Berhak Menerima Zakat


Golongan Yang Berhak Menerima Zakat

oleh : Ust. Muhammad Abduh Tuasikal
Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan yang telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.” (QS. At Taubah: 60) Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.[1]
Golongan pertama dan kedua: fakir dan miskin.
Fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi kebutuhan mereka.
Para ulama berselisih pendapat manakah yang kondisinya lebih susah antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa fakir itu lebih susah dari miskin. Alasan mereka karena dalam ayat ini, Allah menyebut fakir lebih dulu baru miskin. Ulama lainnya berpendapat miskin lebih parah dari fakir.[2]
Adapun batasan dikatakan fakir menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah adalah orang yang tidak punya harta dan usaha yang dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu rupiah tiap harinya, namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut atau ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh. Sedangkan miskin adalah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih dari separuh kebutuhannya, namun tidak bisa memenuhi seluruhnya.[3]
Orang yang berkecukupan tidak boleh diberi zakat
Orang yang berkecukupan sama sekali tidak boleh diberi zakat, inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ
“Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan.”[4]
Apa standarnya orang kaya yang tidak boleh mengambil zakat?
Standarnya, ia memiliki kecukupan ataukah tidak. Jika ia memiliki harta yang mencukupi diri dan orang-orang yang ia tanggung, maka tidak halal zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki kecukupan walaupun hartanya mencapai nishob, maka ia halal untuk mendapati zakat. Oleh karena itu, boleh jadi orang yang wajib zakat karena hartanya telah mencapai nishob, ia sekaligus berhak menerima zakat. Demikian pendapat mayoritas ulama yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[5]
Apa standar kecukupan?
Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi tanpa bersifat boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah baik kebutuhan dirinya sendiri atau orang-orang yang ia tanggung nafkahnya. Inilah pendapat mayoritas ulama.[6]
Bolehkah memberi zakat kepada fakir miskin yang mampu mencari nafkah?
Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu memenuhi kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi kebutuhannya secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil zakat. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ مُكْتَسِبٍ
““Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.”[7]
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِىٍّ
“Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk bekerja, pen)”[8]
Berapa kadar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin?
Besar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin adalah sebesar kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan orang yang mereka tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih daripada itu. Yang jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat dikeluarkan setiap tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk setahun. Barangkali pula jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran nishob zakat.
Jika fakir dan miskin memiliki harta yang mencukupi sebagian kebutuhannya namun belum seluruhnya terpenuhi, maka ia bisa mendapat jatah zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam setahun.[9]
Golongan ketiga: amil zakat.
Untuk amil zakat, tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan pekerjaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan,

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ
“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.”[10]
Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa imam (penguasa) akan memberikan pada amil zakat upah yang jelas, boleh jadi dilihat dari lamanya ia bekerja atau dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan.[11]
Siapakah Amil Zakat?
Sayid Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”[12]
‘Adil bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.”[13]
Syeikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.”[14]
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Golongan keempat: orang yang ingin dilembutkan hatinya.
Orang yang ingin dilembutkan hatinya. Bisa jadi golongan ini adalah muslim dan kafir.
Contoh dari kalangan muslim:
1. Orang yang lemah imannya namun ditaati kaumnya. Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya.
2. Pemimpin di kaumnya, lantas masuk Islam. Ia diberi zakat untuk mendorong orang kafir semisalnya agar tertarik pula untuk masuk Islam.
Contoh dari kalangan kafir:
1. Orang kafir yang sedang tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam.
2. Orang kafir yang ditakutkan akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan diri dari mengganggu kaum muslimin.[15]
Golongan kelima: pembebasan budak.
Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah: (1) pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya ingin merdeka dengan melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, (3) pembebasan tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir.[16]
Golongan keenam: orang yang terlilit utang.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah:
Pertama: Orang yang terlilit utang demi kemaslahatan dirinya.
Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
1. Yang berutang adalah seorang muslim.
2. Bukan termasuk ahlu bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
3. Bukan orang yang bersengaja berutang untuk mendapatkan zakat.
4. Utang tersebut membuat ia dipenjara.
5. Utang tersebut mesti dilunasi saat itu juga, bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun lagi kecuali jika utang tersebut mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan zakat.
6. Bukan orang yang masih memiliki harta simpanan (seperti rumah) untuk melunasi utangnya.
Kedua: Orang yang terlilit utang karena untuk memperbaiki hubungan orang lain.
Artinya, ia berutang bukan untuk kepentingan dirinya, namun untuk kepentingan orang lain. Dalil dari hal ini sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ بَيْنَ قَوْمٍ فَسَأَلَ فِيهَا حَتَّى يُؤَدِّيَهَا ثُمَّ يُمْسِكَ
“Sesungguhnya permintaan itu tidak halal kecuali bagi tiga orang; yaitu orang laki-laki yang mempunyai tanggungan bagi kaumnya, lalu ia meminta-minta hingga ia dapat menyelesaikan tanggungannya, setelah itu ia berhenti (untuk meminta-minta).”[17]
Ketiga: Orang yang berutang karena sebab dhoman (menanggung sebagai jaminan utang orang lain).
Namun di sini disyaratkan orang yang menjamin utang dan yang dijamin utang sama-sama orang yang sulit dalam melunasi utang.[18]
Golongan ketujuh: di jalan Allah.
Yang termasuk di sini adalah:
Pertama: Berperang di jalan Allah.
Menurut mayoritas ulama, tidak disyaratkan miskin. Orang kaya pun bisa diberi zakat dalam hal ini. Karena orang yang berperang di jalan Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya saja, namun juga untuk kemaslahatan seluruh kaum muslimin. Sehingga tidak perlu disyaratkan fakir atau miskin.
Kedua: Untuk kemaslahatan perang.
Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata baik muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai musuh.[19]
Golongan kedelapan: ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal di perjalanan.
Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila memenuhi syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat.[20]
Memberi Zakat untuk Kepentingan Sosial dan kepada Pak Kyai atau Guru Ngaji
Para fuqoha berpendapat tidak bolehnya menyerahkan zakat untuk kepentingan sosial seperti pembangunan jalan, masjid dan jalan. Alasannya karena sarana-sarana tadi bukan jadi milik individual dan dalam surat At Taubah ayat 60 hanya dibatasi diberikan kepada delapan golongan tidak pada yang lainnya.
Begitu pula tidak boleh menyerahkan zakat kepada pak Kyai atau guru ngaji kecuali jika mereka termasuk dalam delapan golongan penerima zakat yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60.
Menyerahkan Zakat kepada Orang Muslim yang Bermaksiat dan Ahlu Bid’ah
Orang yang menyandarkan diri pada Islam, ada beberapa golongan:
1. Muslim yang taat dan menjalankan syariat Islam. Maka tidak meragukan lagi bahwa golongan ini yang pantas diberikan zakat. Jadi seharusnya zakat diserahkan pada orang yang benar-benar memperhatikan shalat dan ibadah wajib lainnya.
2. Termasuk ahlu bid’ah dan bid’ahnya adalah bid’ah yang sifatnya kafir. Orang seperti ini tidak boleh diberikan zakat pada dirinya. Misalnya adalah bid’ah mengakui ada nabi ke-26.
3. Ahli bid’ah (yang sifatnya tidak kafir) dan ahli maksiat. Jika diketahui dengan sangkaan kuat bahwa ia akan menggunakan zakat tersebut untuk maksiat, maka tidak boleh memberikan zakat pada orang semacam itu.[21]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sudah seharusnya setiap orang memperhatikan orang-orang yang berhak mendapakan zakat dari kalangan fakir, miskin, orang yang terlilit utang dan golongan lainnya. Seharusnya yang dipilih untuk mendapatkan zakat adalah orang yang berpegang teguh dengan syari’at. Jika nampak pada seseorang kebid’ahan atau kefasikan, ia pantas untuk diboikot dan mendapatkan hukuman lainnya. Ia sudah pantas dimintai taubat. Bagaimana mungkin ia ditolong dalam berbuat maksiat.”[22]
————————
Footnote :
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, Asy Syamilah, index “zakat”, point 156.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, index “zakat”, point 157.
[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, index “zakat”, point 158.
[4] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6/351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 876.
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8254, index “zakat”, point 159.
[6] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8256, index “zakat”, point 163.
[7] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6/351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 876.
[8] HR. Abu Daud no. 1634, An Nasai no. 2597, At Tirmidzi no. 652, Ibnu Majah no. 1839 dan Ahmad 2/164 . Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 877. Lihat Syarh Sunan Ibni Majah, As Suyuthi dkk, Asy Syamilah 1/132.
[9] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8257, index “zakat”, point 164.
[10] HR. Abu Daud no. 1635. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih
[11] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8258, index “zakat”, point 168.
[12] Fiqh Sunnah, terbitan Dar al Fikr Beirut, 1/327.
[13] Tamamul Minnah fi Fiqh al Kitab wa Shahih al Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Muassasah Qurthubah Mesir, 2/290
[14] Majalis Syahri Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, cet Darul Hadits Kairo, hal 163-164.
[15] Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikr, Beirut, 1405 H, 7/319
[16] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8260-8261, index “zakat”, point 169.
[17] HR. An Nasai no. 2579 dan Ahmad 5/60. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[18] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8261-8262, index “zakat”, point 170 dan 171.
[19] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8263, index “zakat”, point 172 dan 173
[20] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8264-8265, index “zakat”, point 174 dan 175.
[21] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/76-77.
[22] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 25/87.
dicopy dari : rumaysho.com

Cara Menghitung Zakat Mal


Oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A
Segala puji hanya milik Allâh Ta’ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya.
Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allâh Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail ‘alaihissalam di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:
Qs. Ibrâhîm/14:37
Ya Rabb kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. 

(Qs. Ibrâhîm/14:37)
Inilah hikmah diturunkannya rizki kepada umat manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.
Qs. at-Taubah/9:34-35
…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. 

(Qs. at-Taubah/9:34-35)
Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
“Dinyatakan bahwa setiap orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:
“Dan hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja, ialah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci”.[2]
Singkat kata, zakat adalah persyaratan dari Allâh Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.
NISHAB ZAKAT EMAS DAN PERAK
Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.
hadist
Dari Sahabat ‘Ali radhiyallâhu’anhu, ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam,
Beliau bersabda:
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun – maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”. 
(Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)
hadist
Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu’anhu, ia menuturkan:
Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu’anhu dinyatakan:
hadist
Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).
(Riwayat al-Bukhâri)
Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
1.
Nishab adalah batas minimal dari harta zakat. Bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, pada hadits riwayat Ali radhiyallâhu’anhu di atas, Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam menyatakan: “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
2.
Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas.[3]
3.
Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[4]
4.
Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah atau 2,5%.
5.
Perlu diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, ialah emas dan perak murni (24 karat).[5]
Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas, atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.
Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut.
Cara pertama, membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara kedua, ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.
Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.”[6]
Catatan Penting Pertama.
Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,- Atau sebaliknya, pada saat beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,- sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-
Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.[7]
NISHAB ZAKAT UANG KERTAS
Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan menggunakan cara barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan tetapi, tatkala manusia menyadari bahwa cara ini kurang praktis – terlebih bila membutuhkan dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari alternatif lain. Hingga akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar manusia, dan sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.
Dalam perjalanannya, manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak, sehingga kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah uang kertas. Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan sebagai alat transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum, seperti halnya yang dimiliki uang dinar dan dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat.[8]
Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga nishabemas atau perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang yang ia miliki. Dan untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini dengan contoh berikut.
Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp. 25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 = Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 = Rp. 14.875.000,-.
Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu uang tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) uang tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas, maka pada saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:
Rp. 50.000.000 x 2,5 % = Rp 1.250.000,-
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya. Akan tetapi, bila uang pak Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah kita mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang pak Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada kasus semacam ini, para ulama menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak boleh menggunakan nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar :
Rp. 16.000.000 x 2,5 % = Rp. 400.000,-
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada keputusannya no. 1881 menyatakan:
“Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai tersebut”.[9]
Catatan Penting Kedua.
Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya.[10]
Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, (dengan asumsi harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,-) dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %. Dalam hal ini walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya (Rp. 23.000.000,-) mencapai nishab.
Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
(Rp 10.000.000,- + Rp. 13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,-
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
ZAKAT PROFESI
Pada zaman sekarang ini, sebagian orang mengadakan zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya. Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen petani, tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat. Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan zakat profesi.
Bila pendapat ini dikaji dengan seksama, maka kita akan mendapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut secara sekilas bukti kejanggalan dan penyelewengan tersebut:
1.
Zakat hasil pertanian adalah (seper-sepuluh) hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan (seper-duapuluh) bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 % sehingga Qiyas semacam ini merupakan Qiyas yang sangat aneh (ganjil) dan menyeleweng.
2.
Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila dihukumi dengan hukum zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli dan standar nilai barang.
3.Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus. Keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa bukti yang menunjukkan hal itu:
Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu’anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Lalu ia pun diberi upah oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Pada awalnya, Sahabat ‘Umar radhiyallâhu’anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepadanya:
“Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah”.
(Riwayat Muslim)
Seusai Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu’anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu’anhu, maka ‘Umar pun bertanya kepadanya:
“Hendak kemanakah engkau?”
Abu Bakar menjawab:
“Ke pasar”.
‘Umar kembali bertanya:
“Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukanmu?”
Abu Bakar menjawab:
“Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?”
Umar pun menjawab:
“Kita akan memberimu secukupmu”.
(Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi)
Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengakuan Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu’anhu tentang hal ini.
hadist
Sungguh, kaumku telah mengetahui
bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku.
Sedangkan sekarang aku disibukkan oleh urusan kaum muslimin,
maka sekarang keluarga Abu Bakar
akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl),
sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka. 

(Riwayat Bukhâri)
Riwayat-riwayat ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (1 tahun).
Oleh karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini. Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, beliau berkata:
“Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci, bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”.[11]
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya:
“Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, sehingga tidak boleh ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[12]
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam berikut:
hadist
Tidaklah shadaqah itu akan mengurangi harta kekayaan.
(HR. Muslim)
Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu pembaca memahami metode penghitungan zakat maal yang benar menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.
[1]
Tafsir Ibnu Katsir (2/351-352). Hal semakna juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni dalam kitabnya, Fathul-Bâri (3/305).
[2]
Lihat Fathul-Bâri, 3/305.
[3]
Penentuan nishab emas dengan 91 3/7 gram, berdasarkan keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 5522. Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin menyatakan, bahwa nishab zakat emas adalah 85 gram, sebagaimana beliau tegaskan dalam bukunya, Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/130 dan 133).
[4]
Penentuan nishab perak dengan 595 gram, berdasarkan penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pada berbagai kitab beliau, di antaranya Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/141.
[5]
Lihat Subulus-Salâm, ash-Shan’ani, 2/129.
[6]
Lihat Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il 18/155. Demikian juga difatwakan oleh Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pada fatwanya no. 9564.
[7]
Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/96.
[8]
Sebagaimana ditegaskan pada keputusan konferensi Komisi Fiqih Islam di bawah Rabithah ‘Alam al-Islami, no. 6, pada rapatnya ke 5, tanggal 8 s/d 16 Rabiul-Akhir, Tahun 1402 H. Dan juga pada keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 1881, 1728, dan difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il, 18/173.
[9]
Lihat Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (9/254 fatwa no. 1881) dan Majmu’ Fatâwâ wa Maqalât al-Mutanawwi‘ah oleh Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz (14/125).
[10]
Lihat Maqalaat a- Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/125.
[11]
Maqalât al-Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa ar-Rasâ`il, 18/178.
[12]
Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, 9/281 fatwa no. 1360.

Dipublikasikan oleh www.Salafiyunpad.wordpress.com dari Majalah As-sunnah Edisi 05/Tahun XII